30 Maret 2009

Bukan Dendam Gadis


Langit segera berubah mendung pagi ini oleh gumpalan awan gelap yang berarak menaungi. Lazuardi ikutan sedih karena seorang gadis kemarin mati. Gadisku. Dukaku jadi membasahi semesta.
Gadisku memilih tempat paling sempurna untuk mati. Di tengah hamparan senja yang terguyur hujan kelabu. Ia tinggalkan dunia dengan cara indah. Terkulai biru, mulutnya tidak menganga, matanya tidak nyalang terbuka. Lihatlah. Betapa cantik paras itu walau telah tanpa nyawa.
Batinku disesaki sesal. Kekasih macam apa aku ini, tidak mendampingi waktu Gadisku meregang nyawa. Kemarin kami sudah janji bersua pukul enam di tempat itu. Tempat kami biasa bertemu. Aneh, tak seperti biasa, jelang senja ia kirim sederet pesan singkat: ’Lekas datang Kukuh1 sayang, sebelum ajal sempat merontokkan tubuh bebalku.’
Jelas aku setengah mati cemas, lalu cepat-cepat bergegas. Kebodohan terbesar sepanjang hidup; aku terlambat tiba. Gadisku sudah terjatuh layu. Terkulai biru.
Kubopong Gadisku ke rumah sakit terbaik. Sementara, sisi logis otakku memohon semoga alat-alat canggih tersebut bisa menolong.
Namun dokter melepas kaca matanya dan berujar, "Maaf Tuan, tak satupun bisa kami perbuat demi nona Anda."
Aku terduduk lesu. "Paling tidak, apa penyebab kematiannya? Hujankah?"
"Sedikit hujan tak membuat seseorang mati, Tuan."
"Lantas?"
"Tak ada penyebab khusus. Bukan serangan jantung, keracunan, radang paru, kanker, maupun tekanan psikis. Satu-satunya alasan barangkali karena Tuhan menakdirkan ia mati hari ini."
Kematian, seperti halnya hidup, berhasil membuatku kerap bingung. Mengapa kita diperbolehkan memilih jalan hidup sesuka hati, tetapi tak pernah diberi kesempatan memilih mau dilahirkan atau tidak. Juga mengapa kita bisa mempercepat mati merenggut diri dengan jarum setan, obat nyamuk, dan tali jemuran; atau malah memperlambat mati dengan transplantasi liver dan donor ginjal.. Tapi mengapa tak bisa aku menahan maut melaju menjemput Gadisku ke alam baka? Sebentar saja.
Andai kemarin aku di sana. Andai aku sampai beberapa menit lebih awal. Andai kutemani ia. Aku ingin sekedar bilang selamat jalan. Sampai jumpa. Kalau sempat, sebelum dirinya pergi kuminta ia kisahkan lagi dongeng klasik kesukaannya. Snow White and the Seven Dwarfs. Seperti hari yang sudah-sudah. Masa yang telah lalu di tempat kami biasa bertemu.
"Tujuh liliput siang malam menangisi putri salju yang mati menelan sekerat apel beracun. Hanya meratap di sekeliling peti kaca kristal dimana tubuh molek tak bernafas bersemayam, melalaikan tambang kecil mereka. Sampai Tuhan iba kemudian menakdirkan ciuman pangeran tersesat akan membuat jantung putri salju berdetak lagi saking gugupnya. Lucu, ya. Alangkah hebat kekuatan takdir. Atau kekuatan cinta. Bisa jadi dua-duanya."
Aku sudah menangis keras-keras. Layaknya kurcaci dalam dongeng yang ceritanya sering diulang-ulang Gadisku itu. Sampai sesenggukan. Berharap Tuhan kasihan lalu menghidupkan lagi Gadisku. Nyatanya tak terjadi apa-apa. Terlalu menumpukkah dosa hingga doaku tak Tuhan kabulkan? Atau mungkin entah dimana Tuhan mencemooh. Hidupmu bukanlah dongeng, pandir. Dan kau tak sepolos kurcaci.
Para petugas pemakaman tetap saja memasukkan peti mati bergrafir tempat gadisku terbaring anggun mengenakan gaun satin ungu ke dalam liang dan menimbuni dengan tanah. Aku sedih. Mataku memuntahkan onak. Aku kehilangan. Sungguh. Akan tetapi segala yang bernyawa harus mati. Kalimat itu Gadisku sering bilang. Entah mengutip dari mana. Sama seperti manusia hidup pasti kentut.
Sebelum jasad Gadisku dikubur tadi, kudengar beberapa kerabat jauh yang matanya merah sembab bergumam dramatis sambil menyedot ingus dengan tisu. Damai sekali wajah si mati.
Salah. Kutahu Gadisku tidak damai. Belum. Hal ini lagi-lagi menyedihkan hatiku. Sebab masih ada yang ia simpan. Bertahun tersangkut di benaknya. Segumpal dendam.
Ia ceritakan dendam yang ia simpan di tempat kami biasa bertemu.
Aku gadis pencinta malam. Ibuku perempuan berlian yang wajahnya bening air, sedangkan Ayahku lelaki pemburu perayu bumi. Ayah telah lama mati dalam lubuk batin.” Gadisku mengawali cerita. Sejujurnya sih aku tak seberapa mengerti. Tapi aku diam saja, ia amat manis ketika bercerita.
Aku sayang Ibu. Begitupun ia. Pemilik sayap indah berkilauan yang memantulkan sinar firdaus. Kami bahagia bersama.” Pause. Wajah manis menerbitkan cemberut.
Suatu hari buto garong si pencuri mengubah sayap keperakan ibu jadi sayap hitm kelelawar berduri.”
Biar kutebak, kamu kecewa lantas berhenti menyayanginya.”
Enggak. Perasaanku tak berubah setetespun.”
Lalu apa masalahnya?”
Dia buto garong si pencuri. Membawa lari ibuku. Menculiknya ke suatu dunia asing serta jauh yang gerbangnya tak kasat mata. Aku tengah mencari makhluk bengis-beringas itu.”
Kalau kelak ketemu?”
Ia musti kembalikan ibu. Terus kumusnahkan ia dari jagad.” Tak pernah sekalipun kutatap ekspresinya mengandung banyak benci seperti itu.
Jangan begitu, Gadis. Kamu terlalu manis untuk kenal dendam. Apalagi jadi pembunuh.” Jangan abadikan itu dendam.
Dendam ini sulit kubuang. Lama dibiarkannya aku kehilangan. Dan sendirian.”
Ada aku.”
Gadis senyum sedikit. Dua detik berikut air matanya satu jatuh. Disusul satu lagi.
Tersedulah yang puas, Gadis. Soalnya hidup adalah siklus tangis dan tawa. Esok hari atau setengah jam lagi semesta konyol tak bakal alpa mengubah rautmu yang mengisak jadi ngakak.
Begitulah kenangan mengalir menyakitkan. Mencacah-cacah hati yang semula telah berlubang akibat kehilangan. Gadis kehilangan milik berharganya. Empu-nya. Akupun kehilangan milik berhargaku. Gadisku.
Bayang-bayang tetumbuhan jatuh di atas nisan-nisan. Aku melangkah beranjak ke luar komplek pemakaman, menuju utara. Pondokan Gadisku. Selagi induk semang belum mengemasi barang-barangnya lalu menyerahkan pada kerabat jauh dan dekat. Selagi semua barang itu masih tergolek di tempatnya masing-masing, ingin kuhirup atmosfir hangat punya Gadisku.
Gadis. Semisal arwahmu masih penasaran, hantui aku saja.
Setelah meminta izin pada induk semang, aku dibolehkan masuk. Sebelumnya tak pernah aku masuk kemari. Terang-terangan atau curi-curi. Aku lelaki sopan, ini pondokan khusus wanita.
Kamarnya wangi Gadisku. Rasa kehilanganku membengkak lagi. Apakah semua barang di kamar ini juga kehilangan dia?
Di atas meja kecil di samping tempat tidur, ia pajang potret kami yang sedang tergelak. Bagian belakang foto itu dulu iseng-iseng kami tulisi kutipan lirik lagu barat: If life ain’t just a joke, then why are we laughing? If life ain’t just a joke, then why am I dead? 2 Tapi kali ini mataku terantuk pada agenda jingga yang tertindih pigura itu. Heran. Ia bukan dari jenis yang suka menulis catatan harian. Kubuka, ada tulisan tangan Gadisku. Rapi.
Tertulis ironis: Jurnal Menjelang Mati. Benarkah Gadisku tahu telah di ambang mati saat ia mulai menulis?
*****
Jurnal Menjelang Mati

Dua minggu lalu aku duduk melamun di atas kursi panjang dekat air mancur taman kota yang rusak. Sabit menggantung muram di tengah sinar samar para bintang. Angin menyerbu. Menggoyangkan gerombolan ilalang di seberang sana yang sedang mendendangkan keroncong cinta.3 Di sela malam tenang menentramkan, tanpa terduga melirih bisikan entah siapa. Meremangkan bulu kuduk. Siapkah kau Gadis, apabila dalam kurun lima belas hari ajal tiba merobek? Aku gelisah. Berasal dari bumi yang diamkah suara itu, atau dari bintang yang jauh. Aku sangsi itu suara setan. Aku menahan nafas sehela.
Darimanapun asalnya, itulah sebentuk peringatan. Bisa juga firasat. Bagaimanapun aku jadi agak resah. Jika suara itu benar, bahwa hidupku tak lagi lama, bagaimana bisa jiwaku tenang. Hingga sekarang belum juga kutemui garong penculik ibu. Meski dendam ini telah lama ada. Satu dasawarsa.
(Berulang kekasihku Kukuh menasehati supaya kumusnahkan saja dendam kesumat yang mengendap. Sulit, Ibuku terlalu berharga. Aku tak bisa terima.)
Satu lagi, jika aku mati berarti mesti kutinggalkan pula kekasih. Rasanya berat. Sebab ia orang penting buatku. Kukuh.
Mengenal Kukuh seolah menempati lagi rumah lamaku yang telah kosong. Tiap hari tempat itu dikelilingi capung merah. Tak ada tiang listrik dan kabel telepon. Hanya ada bambu, tegalan, alam, dan sejuk. Tinggal disitu pasti kau sadari dunia betul-betul tempat indah. Kayak gitu lah Kukuh kira-kira. Selalu penuh hidup. Penuh energi positif.
Aku nemu Kukuh di pinggiran ombak. Mungkin lebih tepat dibilang dia yang duluan menemukanku.
Waktu itu di pantai biru. Laut riang, --aku tidak. Puluhan karang, ribuan kerang tak membikin hilang berang. Nyiur-camar terlihat dari jauh samar-samar. Pasir dan angin laut deras berdesir-desir menyebabkan mata berair. Terik. Hari naik tinggi. Sayang kehangatan matahari belum lagi sampai di hatiku. Aku lagi kesal.
Jangan murung, Nona. Hidup ini indah dan cuma sekali.”
Secara mengejutkan ia sapa aku dari sebelah. Lelaki kurus, punya binar mata cerlang di sepasang pelupuk, senyum ramah. Logatnya bersemangat. Pas itu rambutnya belum gondrong ikal seperti sekarang.
Aku lagi kesal.”
Karena apa?”
Malas cerita.”
Ya sudah. Kalau begitu jadi pacarku saja. Nanti kesalmu berangsur bakal sirna.”
Bisakah?”
Tak akan pernah tahu bila tak kau coba, Nona. Apa salahnya? Aku orang baik. Sederhana. Tidak banyak tingkah.”
Kamu terlalu buru-buru. Kita bahkan belum saling tahu nama.”
Nah, bahkan sebelum tahu namamu aku sudah jatuh cinta. Hebat kan."
Alisku terangkat.
"Aku Kukuh. Kau siapa, Nona?”
Gadis.”
Tahu tidak, gadis manis pemurung. Aku telah tertarik padamu sejak jejak kakimu pertama tercetak di hampar pasir tiga pekan lampau.”
Oh. Rupanya sudah selama itu kau kuntit aku.” Senyumku timbul.
Obrolan banyak berlanjut. Kami mengekeh bareng. Awal sejalin hubungan yang hampir empat tahun sampai kini. Ia menyenangkan. Orang seru. Perkataannya masa itu manjur, memang kesalku hilang berangsur. Namun dendamku masih utuh. Mengganjal.
Perihal dendam itu, sebenarnya tersisa secuil detil yang sengaja tak kuungkap pada kekasihku Kukuh. Kugenggam sendiri saja. Sebab potongan realita ini yang memupuk dendam sesubur tanaman lebat di tanah gembur. Sekaligus membangkitkan kesadaran bahwa dendamku sia belaka. Tanpa guna. No use.
....Ibuku perempuan berlian pemilik sayap keperakan. Ayah perayu bumi yang lama mati di dasar lubuk. Pada suatu hari biasa, garong buto menyapa ibu lewat jendela rumah kami yang dikelilingi capung merah. Hati keduanya tambat menambat. Meski garong bejat bengis beringas. Tak lama diubahnya sayap ibu jadi sayap hitam kelelawar berduri pertanda mereka resmi sepasang. Newlyweds. Bride and bridegroom....
Damn.
Bahkan sebelum juru nikah bertanya ’siapa keberatan?’ telah kuacungkan tanganku tinggi-tinggi. Aku tak dihiraukan. Pun oleh ibu. Suaraku tak masuk hitungan. Gema gumam di sekelilingku terekam. Kamu anak kecil, jangan ikut campur. Kau kan anaknya, mengapa tak dukung ibumu? Kamu hanya belia.
Dan aku kecewa.
Itu, potongan ceritera menyakitkan. Itu, cemburu kepanjangan yang akhirnya menjelma dendam. Sebab penculikan itu pilihan ibuku. Ia bersedia dibawa pergi ke dunia asing jauh yang gerbangnya tak tampak mata tanpa aku. Sebelum aku sempat protes apa-apa. Entah dimana dunia itu. Belum kutemukan.
Manusia sering salah. Salah pilih, salah langkah. Argumen singkat ini kuanut, menjagaku tetap siaga mencari buto garong. Jika ketemu, kuhabisi riwayatnya. Kuyakin ibu salah jalan. Tapi semua peristiwa ialah pilihan ibu. Berhak-kah aku menjadi halang padahal Tuhan membebaskan manusia memutuskan nasib, asal tahu segala laku beroleh ganjar. Ah, aku jadi merasa konyol dengan dendam ini.
Maka, Kukuh. Aku memilih melebur ini dendam. Serta prasangka. Juga luka akibatnya.
Kata suara aneh dua minggu lalu, besok aku mati. Sungguh terjadi atau cuma bual (seperti ramalan akhir zaman beberapa tahun silam) aku tak ambil peduli. Tak gentar. Takut pun tidak. Nyawa ini punya Tuhan.
~Gadis
*****
Gadisku kemarin memilih tempat paling sempurna untuk mati. Tepian hujan abu-abu, di tengah senja menghampar. Dia tinggalkan fana dengan paras manis. Aku sedih. Dukaku membasahi semesta. Untunglah sekobar lega menyala hangat. Gadisku ternyata tak lagi terganjal dendam. Segala terlebur. Menyatu pekat.

Malang, Desember 2007
Oleh Shelbi Asrianti

1Pinjam nama milik K.Y.Karnanta
2Mengutip lirik lagu Dead! punya band alternative keren My Chemical Romance.
3Kalau tidak salah judul salah satu novel karya penyair Bangkalan mas Ahmad Faishal.

27 Maret 2009

peterpan is not da true gentleman..


JAngan keburu Kepikiran bakal ngegosipin.. peterpan band pop yang vokalisnya ariel..

G' Da Ngegosip>>....seleBritis

tapi peterpan ini peterpan nya walt disney yang tinggal di neverland... musuhnya kapten hook, sobatan sama peri tinkerbell, n naksir wendy.. gtoo.
Q naksir banget sama nih pilem, apalagi tokoh peterpan nya.. coz ceritanya keren bangett.. en gak ngebosenin,,
tapi kalo q liat liat lagi.. kayakx maz peterpanx tuch gak gentle juga..
ngapain hayo?? dia gak ngebelain hijrah ke duniax wendy kalo dia emank cinta...
malah kisahx gak happy end buatq.. coz di lanjutan pilem itu,,
peterpan akhirnya mau ke dunia manusia dengan syarat dia ga bisa muda selamanya..
akhirnya pas dia nyampe di rumahnya wendy,,
si wendy udah nenek-nenek dan peterpan malah ngirain cucu x wendy itu wendy yang dulu..
bikin gemezz aja,
napa mereka ga bisa bersatu yach???
khan sedih..

Teruntuk Masa Lalu

upset,
ketika aku kembali ke halte itu
kau sudah tidak ada..

televisi: kuBus listrik bergambar yg membrainwash kita...


Televisi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidupnya masyarakat Indonesia. Ya iyalah... Siapa sih yang gak suka nonton tivi? Oke, oke, barangkali ada di antara kalian yang bilang," Ih. Sori ya. Gw gak suka liat tipi tuch.." Yeah, cuma 1:1000 aja orang model gitu. But at least, sebagian besar orang Indonesia pasti suka nonton tivi. Apalagi orang kota, rumah tanpa televisi ibarat laut tanpa ombak. Sepi.

Tau nggak sih, dulu di tahun '96, kira2 90 juta penduduk Indonesia udah punya yang namanya pesawat televisi.. Kalo kita pake perhitungan bahwa sejak 1994 pertambahan jumlah pesawat televisi di negara kita tuh kurang lebih sebanyak 650.000. Itung aja deh. Pokoknya kira-kira taun 2007 aja, udah terdapat 96.500.000 tivi di Indonesia. Waw.

Coba kita misalkan, tiap televisi itu yang nonton ada 2 orang. 2 x 9.650.000 = 193 juta orang! Tuh kan, jumlah penonton TV di Indonesia nyampek 193 juta orang atau kasarannya 87% dari jumlah penghuni Indonesia. Wuih, Banyak juga ya...
Kalo kemudian muncul pertanyaan : kenapa ya banyak orang suka nonton tivi? Nah, jawabannya adalah >> karena sekarang jamannya kebudayaan audio visual.
Katanya salah seorang pakar komunikasi Ashadi Siregar, fase budaya terdiri atas tiga:
  • Fase budaya lisan.
  • Fase budaya tulis.
  • Fase budaya audio visual.
Budaya audio visual merupakanbudaya yang terbaru dan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perubahan perilaku masyarakat, terutama dalam aspek informasi dan persuasi. Budaya ini terdiri dari dua elemen. Tentu saja elemen audio dan elemen visual; yang punya karakteristik kekuatan masing-masing sehingga pada akhirnya bersinergi menghasilkan kekuatan yang dahsyat.
Kelebihan media audio visual yaitu bisa memberikan gambaran yang lebih nyata serta meningkatkan retensi memori karena lebih menarik dan mudah diingat. Contohnya: kalo qt ngliat iklan di televisi, khan qt lebih mudah inget about isi iklan tersebut ketimbang qt ngliat iklan di koran apalagi ngliat Baliho nya caleg. Ruwet!
Justru karena kekuatan mempengaruhinya yang begitu "gila" inilah yang membuat televisi can be dangerous. Sebab sifat audio visual itu mampu menghipnotis pikiran dan emosi penonton sehingga kita larut dalam apapun yang disuguhkan oleh TV.
Penonton selalu menjadi pihak pasif yang seolah dicuci otak atawa di-brainwash oleh oleh televisi. Kasusnya sudah kita ketahui bersama. Ada siswa SD yang meninggal karena bergulat dengan teman - temannya. Gara2 merka suka liat smack-down.. Mana mereka tau kalo smack-down tuch totally fake alias palsu abiz..

Trus para pencinta sinetron dan reality show, apabila kita perhatikan rata2 pakaian dan model rambut mereka sedikit banyak dipengaruhi oleh artis2 di layar kaca. N sharing dikit nich ya, ku gak akan mau punya cowok yang demen nonton sinetron. Abiznya, pasti pola pikir dan gaya bicaranya kesinetron-sinetronan.. Upz.
Di kalangan masyarakat juga menjamur celetukan2 sperti "Apa kabar, buk?"... "Halo, coy.." ,, "kembali ke laptop." dan lain-lain sebagainya. Darimana lagi kita adopsi semua itu kalo bukan dari televisi..

Hmm... Meskipun qt tau bahwa televisi bisa mencuci otak, berbahaya, dan bisa mempengaruhi mindset qt, bukan berarti qt harus berhenti nonton tivi seumur hidup kok. Yang penting qt bisa jadi penonton cerdas, yang mampu memilih dan memilah acara-acara yang bermutu jelas dan gak jelas.

Akhir kata, mengutip kalimat pak Novin,"Nonton TV sama seperti makan cilok. Kita tau saosnya cilok gak sehat, kemungkinan besar mengandung bahan perusak, de el el. Tapi kita terus aja makan. Mau gimana lagi, emang kita suka. Kita juga tau acara2 televisi itu kadang gak jelas, reality shownya maksa n direkayasa. Tapi kita tetep nonton. Mau gimana lagi, orang kita doyan."
Ok. Apapun kata dunia. Mari kita tetep nonton tivi sambil makan cilok.

GBU all.