01 Desember 2014

Dawai Melankoli



Dawai-dawai angin lantunkan melankoli.
Berdesir-desir bersama ilalang yang bernyanyi.
Menyuarakan rindu yang mengendapi benak sepi.

Di bawah gemintang, aku termangu.
Merunuti memori yang hanya berisi kamu.
Imaji sosokmu membayang, tanpa bisa tersentuh.

Tanyakan pada terang emas bulan:
Untuk apa cahaya unjukkan keelokan,
Sementara jiwa tetap rasakan kesepian?

Gemawan menjawab mewakili:
Sebab semesta diciptakan dua sisi,
Agar manusia tak lupa berkontemplasi.

Lalu untuk apa cinta ini diciptakan?
Tumbuh dan menjelma selarik keindahan.
Sedangkan dunia tak izinkan kami bergandengan?

Lazuardi di penghujung malam berbisik kelu:
Hati ini hanya padamu.
Tapi Kalam berbisik: cinta tidak mesti bersatu.

Shelbi Asrianti
Jakarta, 19 Agustus 2013

Sebuah Puisi

 

Kusodorkan tanganku.
Mana tanganmu?

Kau malu-malu memukul bahu.

Seakan mengangankan bulan terang emas selalu,
dan berharap perjalanan jauh dilaju.
Sampai kau yakin tak salah merindu,
meski kapannya tak tentu.

Bujuk rayu tak perlu,
asal senyum tawa canda tetap lucu.

Biarkan angan ingin hasrat lalu bersama waktu,
dan abadi di langit biru.

(judulnya terserah padamu)

SAP
06.09.2012

26 November 2014

Cukup Sampai di Sini

Bersiap melepaskan.

Pernahkah kau terjebak pada tempat dan keadaan yang salah?

Rasanya seperti terjerat dalam sebuah hubungan yang tidak membahagiakan. Engkau ingin pergi, tetapi takut menyakiti. Engkau ingin meninggalkan, tetapi ia mengeratkan pelukan. Hatimu berteriak sudah, tetapi tubuh tak sanggup jauh melangkah setiap kali mendengarnya mencegah.

Engkau terombang-ambing dilema. Hatimu kacau oleh ratusan pertimbangan.

Pilihan jelas terdadah di hadapan: bertahan atau melepaskan. Tanyakan hatimu dalam-dalam, mana yang lebih patut dilakukan. Jangan biarkan sejuta saran menjelma paksaan. Pertimbangkan matang-matang hingga bulat putusan.

Melepaskan barangkali tidak mudah. Namun, berkeraslah. Karena melepaskan sesuatu yang tak mampu lagi ditanggung oleh diri akan melegakan. Lepaskan saja. Just let it go.

Meski berat, ada kalanya kau harus berani berkata:

Cukup.

Cukup sampai di sini.

Sebab, sebagaimana halnya hidup: sesuatu yang tidak bermakna bukanlah sesuatu yang layak untuk dijalani.

#PostingEdisiResignKerjaan

09 November 2014

Para Penghangat Hati (Bagian 5-Habis)

Bintang - Stars - An Najm

Pesan di bawah dikirimkan oleh seorang kawan, Najamuddin Khairurrijal. Sahabat yang biasa kusapa Naj itu dengan bijaknya berkata:

Untuk Shelbi Asrianti.

Aku mengenalmu empat tahun yang lalu. Tapi, rasanya baru empat hari kemarin aku mengenal dirimu seutuhnya.

Hari ini usiamu beranjak kian dewasa. Tiga windu, katamu. Sebuah perjalanan kehidupan yang telah berlabuh dalam pasir-pasir masa yang cukup panjang. Perjalanan kehidupan selama dua puluh tiga revolusi matahari yang membawamu banyak belajar tentang kehidupan.

Dalam peraduan malam ini, kubingkai selaksa doa untukmu. Semoga kamu bahagia dalam setiap jejak hidupmu di masa depan. Semoga Tuhan memeluk mimpi-mimpimu, menjadikan harapanmu menjadi asa yang nyata. Semoga Tuhan mendekap erat tubuhmu, merangkulmu dalam kehangatan cintaNya yang syahdu.

Semoga di usia tiga windu-mu, kau menapak jejak langkah kehidupan yang semakin matang. Dewasa dalam bertindak, bijak dalam berbuat dan berpikir.

Selamat memasuki dan menjalani era baru kehidupan dalam lipatan-lipatan waktu yang akan membuatmu abadi.

Salam untuk suksesmu di masa depan.

--

Indah bukan? 
Sebut aku jomblo yang bahagia. :)


Para Penghangat Hati (Bagian 4)

Aku juga mendapatkan kiriman komik strip buatan sendiri dari Bu Guru Emmy Suaida.. *Big Hug* for my super-creative BFF. Best Friend Forever, Em.. Yeeayy!!.. JJJ 



ê


ê


ê


©©©
So sweet, right?

(Bersambung ke Bagian 5)

Para Penghangat Hati (Bagian 3)

I love surprises. Aku suka kejutan. Tapi dua kejutan berikut ini benar-benar tidak disangka-sangka. 

Kejutan pertama datang dari Roman, sobatku di Malang. Mulanya, ia mengirimkan ucapan dan doa demikian:


Lemme share, biasanya setiap tahun pada 8 November aku menghadiahi diriku sendiri dengan buku-buku atau barang yang sedang kuinginkan. Tapi tahun ini aku tidak sedang menginginkan apa-apa.

Tentunya aku tidak ingin merepotkan. Roman yang kebetulan tanggal lahirnya hanya beda sehari denganku berdomisili di Malang, sementara aku di Bogor. But suddenly, aku menerima paket kiriman ini.


Surprise!!! Dan tebak apa isinya. Kyaaaaa, Sepasang soft lense Mangekyō Sharingan. Totally cool.

Aku sama sekali tidak menyangka status lampauku yang iseng di akun facebook (Kepingin punya Mangekyō Sharingan) bakal ditanggapi serius. Tapi hadiah ini bener-bener oke. Thanks a lot, Mas Bro. :D

Pose pake Mangekyō Sharingan versi Hatake Kakashi. Kece badai.


Call me Uchiha Bibi :p
©©©


Then. Kejutan kedua juga cukup kompleks. Aku kedatangan tamu dari Surabaya yang sedang perjalanan bisnis dan backpacking ke Jabodetabek. These are the presents from him, a watch and Olaf from The Frozen:

Hayyy, I'm Olaf. And I love warm hugs.
Well, man, terima kasih atas hadiah dan kunjungannya. J

©©©

(Bersambung ke Bagian 4)




Para Penghangat Hati (Bagian 2)

©©©


\

©©©


©©©



©©©


©©©


©©©


©©©


 ©©©

(Bersambung ke Bagian 3)





Para Penghangat Hati (Bagian 1)

8 November.

Tanggal spesial bagiku. Bukan karena deret angka itu tertera pada semua surat identitas dan dokumen penting milikku. 08-11-1990. Melainkan, karena dua puluh empat tahun lalu dalam hitungan kalender Masehi, aku mereguk nafas pertama di bumi. Kamis fajar itu, aku lahir setelah sepuluh bulan bersemayam dalam rahim. Mungkin aku terlalu menikmati melekat pada Ibu. Entahlah. Aku belum bisa mengingatnya. :) 

Maka tidak bisa dipungkiri aku berdebar juga melewati hari ini. Debar karena tahun-tahun yang terlewati. Lupakan perayaan konyol yang berharap mulia selama-lamanya dan panjang usia. Maksudku, setiap nyawa sudah memiliki tenggat waktu masing-masing. Rasanya tidak sopan bila kita melangkahi kehendak Tuhan dan meminta hidup sampai lansia. Aku lebih suka berharap usiaku tidak sia-sia, daripada terlalu panjang namun hampa.

Bicara soal hampa, mendadak aku terkenang mantan. Mulai yang pertama hingga kedelapan. Bukan karena apa, hanya saja ini 8 November pertama yang kulewati tanpa kekasih dalam kurun tujuh tahun belakangan. Secara umum, aku bukan tipe perempuan yang tidak bisa bahagia tanpa laki-laki. Tetapi, setelah kupikir-pikir sepi juga. Hari-hari tanpa bunga, cokelat, atau perhatian dari pasangan. Haha. 

Omong-omong, berdasarkan saran seseorang, aku sengaja tidak membeberkan tanggal lahir di media sosial populer. Ujarnya, membuka identitas terlalu lebar di sos-med riskan dan rawan cyber crime. Baiklah, kuturuti saja rekomendasi kawan itu. Toh, tetap ada segelintir terkasih yang masih mengingat tanggal ini, meluangkan waktu mengucap doa. 

Mereka. Para penghangat hati. Aku mencantumkan pesan dan doa mereka di sini untuk mengabadikan kasih yang kurasa. :)

©©©


©©©


©©©



©©©


©©©
   


©©©

(Bersambung ke Bagian 2)















05 November 2014

Menuju Tiga Windu



Waktu kerap mengelabui manusia. Terkadang ia mengendap pelan bagai gerak moluska. Tak jarang ia berlari hingga benak alpa. Dalam berbagai kondisi, ia relatif tak bisa diprediksi. Ia bisa saja merayap bagai tanpa akhir, sekaligus berlalu lekas dan mengalir.

Aku tidak menduga waktu memenjarakanku. Tiga hari lagi, genap tiga windu aku mengembara di dunia. Hampir seperempat abad lamanya. Namun waktu justru seperti melewatiku sekejap saja.

Rasanya baru kemarin aku senang melompat ke gendongan ayahku. Rasanya baru kemarin aku selalu menangis jika tak ada ibuku. Rasanya baru kemarin aku usai mengalami tiga fase itu: putih-merah, putih-biru, putih-abu-abu.

Rasanya baru kemarin aku belajar naik sepeda. Rasanya baru kemarin aku mencecap riang masa remaja. Rasanya baru kemarin aku mengenal cinta, juga luka.

Rasanya memang seperti baru kemarin. Delapan, sebelas, lima belas, dua puluh dua, angka-angka itu berotasi konstan tanpa beban.

Biasanya, momen ulang usia membuatku ingin kembali merencanakan destinasi. Menyusun sketsa resolusi. Menghitung ulang target dan misi.Mengucap intensi, atau sekadar melakukan koreksi dan introspeksi. Tetapi saat ini atau nanti, aku sedang tidak ingin berandai-andai, berharap-harap, atau menyesali apa-apa. Aku hanya ingin berkontemplasi.

Detik ini, aku telah di ambang usia dua puluh empat. Jiwaku sengit menuntut, dalam hidup apa saja yang sudah ku buat? Dan masih, belum kutemukan apa yang kucari-cari. I still haven't found what I'm looking for.

Barangkali hidup sebenarnya merupakan sebuah pencarian terus-terusan. Ekspedisi yang berkesinambungan. Manusia melacak dirinya sendiri, berusaha menemukan bayangnya, pada setiap jengkal semesta. Manusia perlu sesekali tersesat dan bertanya-tanya. Barangkali.

Memang, jalan keluar atau jawaban yang didapatkan tak akan selalu relevan. Namun, tak ada salahnya memetik pelajaran. Sebab, hidup adalah perjalanan. Sebentuk petualangan.

Aku ingin menutup ini dengan doa. Semoga, tiga hari lagi, tiga windu itu, bukan langkah yang sia-sia.


31 Oktober 2014

Sekejap di Bandung




Gambir. Aku terlambat hadir. Kebiasaan yang sulit kuhilangkan. Dina nyengir maklum saat ku berlari kecil, menghampirinya yang sedari tadi menanti.

"Maap ya, Car. Telat."

Dina cuma memutar mata. Kelambananku membuat kami harus menggeser jadwal keberangkatan dan membeli tiket kereta pukul 10.15.

Kalau ada Ayon di sini, pasti aku dikatain, "Alas iku ombo, nduk, tapi alasan luwih ombo maneh." Maknanya, hutan emang luas tapi alasan mah jauh lebih luas.

FYI, Ayon adalah teman satu kampus pas di Universitas Airlangga dulu. Dina, dia sohib satu kampus di Universitas Muhammadiyah Malang. Panggilan sayangku ke dia: "car". Jangan tanya artinya.

Perjalanan ini hanya terdiri atas dua. Aku bersama Dina. Kami secara dadakan merencanakan satu ekspedisi ke Bandung. Mengunjungi pameran media siar skala nasional, Indonesia Broadcasting Expo (IBX) 2014. Acara itu berlangsung tiga hari (29-31 Oktober 2014) di Trans Conventions Center, Bandung. Kami berangkat hari ini, 30 Oktober 2014, tepat pada hari kedua.

Intinya, ini main-main yang diharapkan bisa menambah daftar profesi kami (Mau terus-terang bilang pengen cari kerjaan baru susah betul). *big smile*

Begitulah. Secara keseluruhan, it's a great day. Selain menyantroni stan-stan media siar, kami menyimak banyak hiburan lain di acara itu. Para public figure yang kece badai bertebaran. Sebut saja Andi F. Noya, Prabu Revolusi, Kartika Putri, dan sejumlah nama besar di dunia broadcasting lainnya.

Dina terutama girang karena ada meet and greet pemeran Nakula-Sadewa Serial Mahabharata: Vin Rana dan Lavanya Bhardwaj. Cewe2 tentunya kurang bisa mengendalikan diri begitu mereka muncul. Tapi kuakui memang mereka ciptaan Tuhan yang kegantengannya melelehkan. Beuh!

Sementara, aku terutama tenang karena bisa menyibukkan hati. Sedikit senggang, tentu aku galau lagi. Penyakit kronis. Gara-gara kamu sih. Iya, kamu, yang lagi baca blog ini. Eaaaaaa. *dijitak-ama-Dina*

Pukul tujuh, jadwal paling malam kereta Argo Parahyangan. Usai puas mengelilingi IBX, kami bergegas melaju menuju stasiun. Di dalam kereta, meringkuk bersama di bawah pendingin yang bersuhu terlalu rendah. Tapi sangat kami nikmati sisa waktu yang terurai tanpa terasa (walaupun kedua tokoh utama sempat mengalami galau tingkat medium gara-gara masalah hati, ekekek).

Kencan kita hari ini sukses ya, Car? *jabat-tangan*

Udah gitu aja ceritanya, thanx for reading. :) 

Kolase dokumentasi narsis:
(1) Foto di kereta, (2) Bersama Kick Andy, (3) Bersama Prabu Revolusi, (4) Gaya bareng di depan backdrop IBX, (5) Macak jadi news anchor Liputan 6, (6) Di booth Net-TV, (7) Plang Trans Studio Bandung, belum sempat ke sana, (8) Tiket kereta :D

30 Oktober 2014

Berdamai dengan Hati


Ayah adalah cinta pertama bagi setiap anak perempuan. Jika demikian, pastilah aku mengalami patah hati pada usia sangat belia.

Syukurlah, tiap luka boleh beroleh penawar. Kini kukenang lara dengan indah, terabadikan tanpa amarah. Sehingga masih bisa kukatakan: Ayah, meski belasan lelaki datang dan singgah, engkau tetap cinta di awal mula.

Akan tetapi, seperti kata mereka: apapun yang tertulis, tetap tertulis. Kisah di bawah ini selesai kugoreskan ketika aku berusia 18, dan Ayah 45 tahun. Kala itu barangkali segalanya tengah tak terkendali. Kini, bila kau akan membacanya, kuberi satu peringatan: No hard feeling ya, Yah.
--

Selamat Ulang Tahun, Ayah!

Hidup tak akan lagi terasa sama seperti dua puluh satu tahun yang lalu. Ketika semua rasanya tak ada yang terlalu getir bagimu. Kau masihlah calon sarjana yang begitu menggebu menyongsong masa depan, meski titel sarjana belum kau kantongi dan perkuliahanmu kadang tersendat prosedur beasiswa yang rumit. Di matamu, segala cemas tak perlu.

Bagi idealisme mudamu, tak ada yang mustahil. Kau seakan tak tahu, atau tak mau tahu; bahwa jalan yang akan kau arungi penuh onak, terjal, mengguncangkan. Yang kau tahu hanyalah segalanya akan baik-baik saja. Kau sugestikan pada seluruh alam pikiranmu, yang sadar juga yang bawah sadar, bahwa kau sanggup lewati jalan itu. Tanpa luka.

Optimismemu, memang tepat guna. Membuahkan hasil. Kesuksesan. Tapi sikapmu sendirilah yang akhirnya merubuhkannya, Ayah. Meruntuhkan tiang pancang yang dulu kau tegakkan susah payah dengan kedua tanganmu sendiri. Juga menumbangkanku.

Ketika aku berusia sembilan tahun, kau beberkan segala konsepmu tentang masa depanku. Rencana-rencanamu. Harapan-harapanmu. Tuntutan-tuntutanmu. Mungkinkah semua itu ialah mimpi-mimpi terpendammu? Terkubur lama, lantas ingin kau hidupkan lagi lewat aku. Sulungmu. Saat itu aku tak mengerti. Ku hanya merekam semua dalam kaset ingatanku.

Tak sampai dua tahun kemudian, terjadi yang tak diharapkan. Perpisahan. Kau dan Ibu terberai. Akhirnya masing-masing terjerat dengan hati baru yang sesungguhnya asing. Padahal kalian tahu sama tahu bahwa cinta tak pernah pergi kemana-mana. Ia hanya tertutup kekonyolan maya. Entahlah.

Tentu saja aku dan adik-adikku terkorbankan. Tahun-tahun berjalan, tak lagi ada perjumpaan. Ke mana saja kau, Ayah? Kami sempat terpuruk, dan kau tak di sini. Sungguh, Ayah. Tak kulihat jejak-jejak kepedulianmu pada peta kehidupan kami belakangan.

Aku tak bakal bertanya dimana nuranimu, seperti telah banyak orang tanyakan. Baik terang-terangan maupun cuma dalam batin. Aku tak berniat menyalahkanmu. Tapi di satu sisi aku menyayangkanmu. Semua ini  memang kontrak nasib yang sudah digariskan, toh? Tapi, Ayah, sikap adalah pilihan hidup manusia.

Semestinya kau tak menguap lenyap tanpa asap. Engkau intelek. Cerdas. Sarjana. Jurnalis. Apa sulitnya menemukan keberadaan kami? Atau kau sudah lama tahu, namun terlalu malas mengurusi. Terakhir kali kami meneleponmu, kau putuskan sambungan. Tak adakah rindu dalam hatimu?

Aku pernah begitu membutuhkan engkau, tapi tak ada dirimu di alam atmosirku. Aku pernah begitu merindukanmu, tapi tak tampak wujudmu dalam duniaku. Sampai ku bosan sendiri. Lebih dari lelah. Kau tak pernah hadir. Selalu absen.

Ah. Begitu cepat waktu melaju. Dua puluh tiga tahun lewat, Ayah, ketika kau merayu Ibu dengan puluhan surat cinta. Bertandang ke rumahnya dengan vespa pinjaman. Berusaha keras merebut perhatian calon mertua. Dua puluh satu tahun lewat, sejak pernikahanmu dengan Ibu. Hampir delapan belas tahun lewat, sejak ku memulai bagianku dalam kefanaan ini. Hampir delapan tahun berlalu, sejak perpisahan itu. Kita telah larut dalam ketukan waktu.

Tahukah, Ayah? Keeksisanmu dalam hatiku telah menyublim. Menjelma sisa-sisa kecewa yang terhisap udara kesemuan. Lalu cinta? Tampaknya telah membeku. Kaulah yang membekukannya.

Jangan mengharap segala kembali. Karena waktu 'kan terus berhembus. Menyegerakan yang bakal pada hidup. Yang hidup pada ajal.

Ku pernah amat sangat kagum padamu. Kau perlu tahu. Kagum itu telah membatu. Tapi masih ada kasih di hati. Semoga.

Dan kini, dimanapun dirimu berada kuucapkan: Selamat Ulang Tahun, Ayah! Sudah sampai kau pada angka 45.

Jangan girang. Sebab hari ini genap setahun jatahmu tinggal di dunia berkurang. Jatah waktu untuk berbekal tinggal sedikit. Berbenahlah. Bekal itu belum cukup.

Jangan pula gentar. Kuyakin kau tak gentar. Kau tak pernah takut mati, katamu dulu. Ajal pasti menggenapi setiap nyawa.

Satu-satunya hal yang patut membuat kau gentar, hanyalah apabila kau belum melengkapi hidup dengan pemaknaan. Hal tersebut, Ayah, kau jualah yang mampu menilai. Karena hanya dirimu yang paham apa yang tersusun dalam pikiranmu.

Pilihan ada di tanganmu, Ayah. Bersikaplah.


Malang, 25 April 2008
Shelbi Asrianti

Tentu, untuk Ayahku.
Di suatu tempat di sana.

25 Oktober 2014

Pagi Tanpa Mentari




Pagi. Tak ada berkas cahaya menerangi. Dalam jendela, hanya tirai hujan dan kelabu.

Aku sedang terusik melankoli. Barangkali obsesi, atau rasa ingin memiliki yang tak pernah mewujud-jadi. Sendu lagi-lagi kembali.

Lagu sempurna untuk pagi ini, "Stan", dinyanyikan oleh Eminem bersama Dido yang dirilis tahun 2000 silam. Kureka ulang dalam benak, berteman gitarku Magenta.


My tea's gone cold I'm wondering why I..
got out of bed at all
The morning rain clouds up my window..
and I can't see at all
And even if I could, it'll all be gray,
but your picture on my wall
It reminds me, that it's not so bad,
it's not so bad..

Terjemahan paling bebas yang bisa kubuat:

Teh semalam telah dingin, dan aku heran..
mengapa tubuhku beranjak meski enggan
Hujan pagi membuat jendelaku berawan..
semua terhalang dari pandangan
Bahkan jika bisa, yang kulihat hanya muram, semua buram,
Namun potretmu di dinding mengingatkan,
Segalanya tak begitu buruk, tak begitu buruk
--

Tak perlu dimengerti. Cukup nikmati.




22 Oktober 2014

Pada Sebuah Kencan

Seorang kawan yang kasmaran mulai berkencan. Ia menanyakan kencan-kencanku yang telah lalu. Ini jawabku:

Bagiku, kencan adalah suatu senja. Ketika Ayah dan aku bermobil berdua saja. Ia pada kemudi, aku di bangku kiri. Melintasi jalan mulus tol Jagorawi. Kami berbincang tentang dunia dan yang bukan dunia. Tentang indah bentang horizon yang menggelap dengan segera. Tentang waktu yang terlalu cepat berlari fana. Tentang hidup yang sarat kesementaraan. Juga, hidup setelah hidup yang tak berkesudahan. Segala tentang.

Kencan juga ialah suatu terik. Saat aku bersama sosok yang lain, merenungi laut. Dia yang teristimewa. Yang tak pernah terganti meski dunia melebarkan jarak dan ruang antara. Kala itu di bawah langit biru, reramai bocah mengerumuni kerang dekat buih merdu. Hembusan angin membasuhi gelombang menuju pasir. Segala riuh. Namun kami menikmati sunyi. Hening yang bening, senyap yang tak dangkal.

Padaku pula, kencan berlangsung di suatu mendung. Awan kelabu bergulung namun perjalanan tak sempat murung. Gelak ramai, dendang dawai, suara riang, mengambang tanpa ujung. Hingga sore suwung.

Pun kencan menjelma suatu purnama. Masih bersama dia. Ya, dia yang tak terjangkau tapi teristimewa. Benderang emas rembulan menyapa di atas kepala. Segala mimpi dan nyata seolah tak berbeda. Dunia sejenak membolehkan aku-dia bersama, pada sebuah jeda. Dan tak ingin kami berharap ada akhir dari rasa. Ah. Betapa kemustahilan yang niscaya.

Maka kusebut inilah kencan terindahku: hanya aku dan Ibu. Per-empu-an lembut yang mengasihiku selalu. Pelukan hangat tanpa tendensi maupun batas waktu. Tak pernah kulupa ribuan kencan sederhana itu; di kamar tidurku. Mataku kerjap usai dongeng dibacakan, hingga doa sebelum tidur kami lafalkan. Kata cinta dibisikkan dekat telingaku, kecup di keningku. Aku terlelap, dijaga cinta Ibu.

Lalu, kawan, bagaimana tadi kencanmu?

20 Oktober 2014

Sahabat di Tepian Pagi

Sahabat selalu datang tanpa diminta. Bahkan ketika jiwa tidak menyadari kebutuhan akan keberadaannya.

Seperti kala itu. 18/10/2014. Suatu Sabtu malam (bukan malam Minggu) yang runyam (nasib jomblo), sesosok kawan lama tiba-tiba saja hadir. Menghibur.

Sudah lama kami tak bersua ataupun berbincang. Malam itu jadi seperti reuni kecil yang asyik. Meski hanya lewat ponsel. Terima kasih teknologi.

Kami mulai bertukar kisah. Tentang karir, kisah cinta masing-masing (kandas pada kasusku, tapi tidak padanya), hobi, mimpi-mimpi yang tertunda. Kami memetik gitar. Bernyanyi parau hingga fajar. Sekali lagi, via ponsel. Sesuatu banget.

Ia selalu bermimpi melanjutkan proyek musiknya yang terbengkalai. Berkeliling Indonesia mempromosikan lagu-lagu ciptaannya. Aku meyakini 100 persen mimpinya itu akan mewujud. Ia vokalis, gitaris, dan pencipta lagu yang hebat. Aku berharap bisa bermusik serius dengannya suatu senggang nanti. Setelah aku mahir benar bergitar. Kalo sekarang masih amatir.

Begitulah. Seperti kataku, sahabat acap tak tampak. Namun seperti bintang, ia selalu ada di langit. Hanya terkadang tertutup dari pandangan. Padahal ia selalu ada.

Pada tepian pagi itu, sahabat bahkan menggubah beberapa lagu secara spontan. Aku iri padanya. Betapa ia dipenuhi ruh kreativitas. Agak jahil, dia memberi judul "Bi" (nama panggilanku) untuk salah satu lagu yang ia ciptakan dan nyanyikan dengan iringan gitar akustik malam itu. Begini liriknya:

Bi, kau 'tlah memilih
Jalan yang itu
Dan jalani

Lakukanlah yang harus
Bukan yang ingin
Kau lakukan

Bila aku
Ada waktu
'tuk bicara kepadamu
Tentang yang kurasa

Aku 'kan ada
Di setiap doa
Percayalah kau tak akan pernah sendiri
---

Sederhana. Tak terduga. Namun menghangatkan.

Terima kasih, sahabat. Sampai jumpa di tepian pagi yang lain. Bila kita ada waktu. :)

-Bi-

Gitarku Magenta