26 November 2014

Cukup Sampai di Sini

Bersiap melepaskan.

Pernahkah kau terjebak pada tempat dan keadaan yang salah?

Rasanya seperti terjerat dalam sebuah hubungan yang tidak membahagiakan. Engkau ingin pergi, tetapi takut menyakiti. Engkau ingin meninggalkan, tetapi ia mengeratkan pelukan. Hatimu berteriak sudah, tetapi tubuh tak sanggup jauh melangkah setiap kali mendengarnya mencegah.

Engkau terombang-ambing dilema. Hatimu kacau oleh ratusan pertimbangan.

Pilihan jelas terdadah di hadapan: bertahan atau melepaskan. Tanyakan hatimu dalam-dalam, mana yang lebih patut dilakukan. Jangan biarkan sejuta saran menjelma paksaan. Pertimbangkan matang-matang hingga bulat putusan.

Melepaskan barangkali tidak mudah. Namun, berkeraslah. Karena melepaskan sesuatu yang tak mampu lagi ditanggung oleh diri akan melegakan. Lepaskan saja. Just let it go.

Meski berat, ada kalanya kau harus berani berkata:

Cukup.

Cukup sampai di sini.

Sebab, sebagaimana halnya hidup: sesuatu yang tidak bermakna bukanlah sesuatu yang layak untuk dijalani.

#PostingEdisiResignKerjaan

09 November 2014

Para Penghangat Hati (Bagian 5-Habis)

Bintang - Stars - An Najm

Pesan di bawah dikirimkan oleh seorang kawan, Najamuddin Khairurrijal. Sahabat yang biasa kusapa Naj itu dengan bijaknya berkata:

Untuk Shelbi Asrianti.

Aku mengenalmu empat tahun yang lalu. Tapi, rasanya baru empat hari kemarin aku mengenal dirimu seutuhnya.

Hari ini usiamu beranjak kian dewasa. Tiga windu, katamu. Sebuah perjalanan kehidupan yang telah berlabuh dalam pasir-pasir masa yang cukup panjang. Perjalanan kehidupan selama dua puluh tiga revolusi matahari yang membawamu banyak belajar tentang kehidupan.

Dalam peraduan malam ini, kubingkai selaksa doa untukmu. Semoga kamu bahagia dalam setiap jejak hidupmu di masa depan. Semoga Tuhan memeluk mimpi-mimpimu, menjadikan harapanmu menjadi asa yang nyata. Semoga Tuhan mendekap erat tubuhmu, merangkulmu dalam kehangatan cintaNya yang syahdu.

Semoga di usia tiga windu-mu, kau menapak jejak langkah kehidupan yang semakin matang. Dewasa dalam bertindak, bijak dalam berbuat dan berpikir.

Selamat memasuki dan menjalani era baru kehidupan dalam lipatan-lipatan waktu yang akan membuatmu abadi.

Salam untuk suksesmu di masa depan.

--

Indah bukan? 
Sebut aku jomblo yang bahagia. :)


Para Penghangat Hati (Bagian 4)

Aku juga mendapatkan kiriman komik strip buatan sendiri dari Bu Guru Emmy Suaida.. *Big Hug* for my super-creative BFF. Best Friend Forever, Em.. Yeeayy!!.. JJJ 



ê


ê


ê


©©©
So sweet, right?

(Bersambung ke Bagian 5)

Para Penghangat Hati (Bagian 3)

I love surprises. Aku suka kejutan. Tapi dua kejutan berikut ini benar-benar tidak disangka-sangka. 

Kejutan pertama datang dari Roman, sobatku di Malang. Mulanya, ia mengirimkan ucapan dan doa demikian:


Lemme share, biasanya setiap tahun pada 8 November aku menghadiahi diriku sendiri dengan buku-buku atau barang yang sedang kuinginkan. Tapi tahun ini aku tidak sedang menginginkan apa-apa.

Tentunya aku tidak ingin merepotkan. Roman yang kebetulan tanggal lahirnya hanya beda sehari denganku berdomisili di Malang, sementara aku di Bogor. But suddenly, aku menerima paket kiriman ini.


Surprise!!! Dan tebak apa isinya. Kyaaaaa, Sepasang soft lense Mangekyō Sharingan. Totally cool.

Aku sama sekali tidak menyangka status lampauku yang iseng di akun facebook (Kepingin punya Mangekyō Sharingan) bakal ditanggapi serius. Tapi hadiah ini bener-bener oke. Thanks a lot, Mas Bro. :D

Pose pake Mangekyō Sharingan versi Hatake Kakashi. Kece badai.


Call me Uchiha Bibi :p
©©©


Then. Kejutan kedua juga cukup kompleks. Aku kedatangan tamu dari Surabaya yang sedang perjalanan bisnis dan backpacking ke Jabodetabek. These are the presents from him, a watch and Olaf from The Frozen:

Hayyy, I'm Olaf. And I love warm hugs.
Well, man, terima kasih atas hadiah dan kunjungannya. J

©©©

(Bersambung ke Bagian 4)




Para Penghangat Hati (Bagian 2)

©©©


\

©©©


©©©



©©©


©©©


©©©


©©©


 ©©©

(Bersambung ke Bagian 3)





Para Penghangat Hati (Bagian 1)

8 November.

Tanggal spesial bagiku. Bukan karena deret angka itu tertera pada semua surat identitas dan dokumen penting milikku. 08-11-1990. Melainkan, karena dua puluh empat tahun lalu dalam hitungan kalender Masehi, aku mereguk nafas pertama di bumi. Kamis fajar itu, aku lahir setelah sepuluh bulan bersemayam dalam rahim. Mungkin aku terlalu menikmati melekat pada Ibu. Entahlah. Aku belum bisa mengingatnya. :) 

Maka tidak bisa dipungkiri aku berdebar juga melewati hari ini. Debar karena tahun-tahun yang terlewati. Lupakan perayaan konyol yang berharap mulia selama-lamanya dan panjang usia. Maksudku, setiap nyawa sudah memiliki tenggat waktu masing-masing. Rasanya tidak sopan bila kita melangkahi kehendak Tuhan dan meminta hidup sampai lansia. Aku lebih suka berharap usiaku tidak sia-sia, daripada terlalu panjang namun hampa.

Bicara soal hampa, mendadak aku terkenang mantan. Mulai yang pertama hingga kedelapan. Bukan karena apa, hanya saja ini 8 November pertama yang kulewati tanpa kekasih dalam kurun tujuh tahun belakangan. Secara umum, aku bukan tipe perempuan yang tidak bisa bahagia tanpa laki-laki. Tetapi, setelah kupikir-pikir sepi juga. Hari-hari tanpa bunga, cokelat, atau perhatian dari pasangan. Haha. 

Omong-omong, berdasarkan saran seseorang, aku sengaja tidak membeberkan tanggal lahir di media sosial populer. Ujarnya, membuka identitas terlalu lebar di sos-med riskan dan rawan cyber crime. Baiklah, kuturuti saja rekomendasi kawan itu. Toh, tetap ada segelintir terkasih yang masih mengingat tanggal ini, meluangkan waktu mengucap doa. 

Mereka. Para penghangat hati. Aku mencantumkan pesan dan doa mereka di sini untuk mengabadikan kasih yang kurasa. :)

©©©


©©©


©©©



©©©


©©©
   


©©©

(Bersambung ke Bagian 2)















05 November 2014

Menuju Tiga Windu



Waktu kerap mengelabui manusia. Terkadang ia mengendap pelan bagai gerak moluska. Tak jarang ia berlari hingga benak alpa. Dalam berbagai kondisi, ia relatif tak bisa diprediksi. Ia bisa saja merayap bagai tanpa akhir, sekaligus berlalu lekas dan mengalir.

Aku tidak menduga waktu memenjarakanku. Tiga hari lagi, genap tiga windu aku mengembara di dunia. Hampir seperempat abad lamanya. Namun waktu justru seperti melewatiku sekejap saja.

Rasanya baru kemarin aku senang melompat ke gendongan ayahku. Rasanya baru kemarin aku selalu menangis jika tak ada ibuku. Rasanya baru kemarin aku usai mengalami tiga fase itu: putih-merah, putih-biru, putih-abu-abu.

Rasanya baru kemarin aku belajar naik sepeda. Rasanya baru kemarin aku mencecap riang masa remaja. Rasanya baru kemarin aku mengenal cinta, juga luka.

Rasanya memang seperti baru kemarin. Delapan, sebelas, lima belas, dua puluh dua, angka-angka itu berotasi konstan tanpa beban.

Biasanya, momen ulang usia membuatku ingin kembali merencanakan destinasi. Menyusun sketsa resolusi. Menghitung ulang target dan misi.Mengucap intensi, atau sekadar melakukan koreksi dan introspeksi. Tetapi saat ini atau nanti, aku sedang tidak ingin berandai-andai, berharap-harap, atau menyesali apa-apa. Aku hanya ingin berkontemplasi.

Detik ini, aku telah di ambang usia dua puluh empat. Jiwaku sengit menuntut, dalam hidup apa saja yang sudah ku buat? Dan masih, belum kutemukan apa yang kucari-cari. I still haven't found what I'm looking for.

Barangkali hidup sebenarnya merupakan sebuah pencarian terus-terusan. Ekspedisi yang berkesinambungan. Manusia melacak dirinya sendiri, berusaha menemukan bayangnya, pada setiap jengkal semesta. Manusia perlu sesekali tersesat dan bertanya-tanya. Barangkali.

Memang, jalan keluar atau jawaban yang didapatkan tak akan selalu relevan. Namun, tak ada salahnya memetik pelajaran. Sebab, hidup adalah perjalanan. Sebentuk petualangan.

Aku ingin menutup ini dengan doa. Semoga, tiga hari lagi, tiga windu itu, bukan langkah yang sia-sia.