20 Maret 2015

Kritis Memaknai Kematian




Judul Buku           : Simple Miracles (Doa dan Arwah)
Penulis                 : Ayu Utami
Penerbit               : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit        : Oktober 2014
Tebal Halaman    : 177 halaman
No. ISBN           : 13-978-979-91-0779-4

Membicarakan kematian, dimensi arwah, beserta segenap kedalamannya tak jarang membuat orang jeri. Meski maut mau tak mau akan kita hadapi nanti,  kita cenderung mengambil jarak tertentu darinya dan membiarkannya semata misteri. Akan tetapi, Ayu Utami dengan berani menuliskan hal-hal tersebut secara kritis, yang dituangkan dalam buku Simple Miracles: Doa dan Arwah.

Secara pribadi,  kisah tersebut bermula dari ketakutan Ayu Utami saat kecil yang membayangkan suatu saat Ibundanya wafat. Betapa mengerikannya hidup. Orang yang kita cintai bisa mati setiap saat. Demikian ia tuliskan. Ketakutan yang menjelma kontemplasi mengenai esensi kehidupan-kematian tersebut ia perkaya dengan riset dan pandangannya tentang keajaiban-keajaiban kecil mengenai doa dan arwah; hingga akhirnya berujung pada hal-hal spiritual.

Melalui buku yang dimaksudkan untuk mengenang 100 hari wafat Ibunda dan Bibinya itu, Ayu mengajak pembaca merenungi dan memaknai apa yang tak kasat namun ada dan membayangi kita. Buku ke-15 karya Ayu tersebut adalah seri pertama dalam spiritualisme kritis, yakni keterbukaan pada yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis.

(Shelbi Asrianti)



Terombang-ambing Gelombang




Judul Buku          : Supernova (Gelombang)
Pengarang           : Dewi Lestari (Dee)
Penerbit               : Bentang
Tahun Terbit        : September 2014
Tebal Halaman     : 482 halaman
No. ISBN            : 978-602-291-057-2

Seperti selalu, Dewi Lestari (Dee) gemar menghadirkan kisah perjalanan mengenai pencarian jati diri dalam karya-karyanya. Kali ini, buku kelima serial Supernova, yakni Gelombang, mengajak pembaca mengarungi hidup Alfa Sagala, pemuda Batak yang merantau hingga sukses berkarir di Wall Street.

Namun, bukan hanya success story yang akan pembaca temui. Jangan harapkan paparan riwayat from zero to hero yang mudah diterka. Justru, pembaca seperti terombang-ambing gelombang saat membaca kisah Alfa. Sebab, Dee dengan piawai meramu narasi dengan pengetahuan-pengetahuan baru, sebut saja kosmologi Batak, figur mitologi tradisional, alam mimpi, serta berbagai corak budaya lintas negara, yang menjadi ciri khas Dee. Pembaca juga dibuatnya menebak-nebak jalinan teka-teki yang mulai terkuak dari buku-buku pendahulunya.

Novel fiksi ilmiah ini melengkapi empat judul sebelumnya, yakni Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, Supernova: Akar, Supernova: Petir, dan Supernova: Partikel. Seri ini direncanakan berakhir pada judul selanjutnya, yakni Intelegensi Embun Pagi.

(Shelbi Asrianti)


19 Maret 2015

Energi Idealisme Multatuli



Judul buku       : Max Havelaar
Judul Asli        : Max Havelaar: Or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company
Penulis             : Multatuli
Penerbit           : Qanita
Tahun Terbit    : Mei 2014
Penerjemah      : Ingrid Dwijani Nimpoeno
Tebal               : 477 halaman
ISBN               : 978-602-1637-45-6


Lebih dari seabad yang lalu, tepatnya pada 1859, Eduard Douwes Dekker mendobrak dunia dengan menulis Max Havelaar, yang berisi kritik tentang kesewenang-wenangan pemerintahan kolonial Belanda di wilayah jajahan Hindia Belanda. Novel klasik ini tak pernah lekang oleh waktu, dan tetap diterbitkan ulang hingga sekarang.

Douwes Dekker yang menggunakan nama samaran "Multatuli" terutama menjadi perbincangan, sebab ia tak lain tak bukan adalah seorang pegawai pemerintah berkebangsaan Belanda, yang menyanggah sikap bangsanya sendiri. Terlebih, multa tuli yang berasal dari bahasa Latin bermakna "banyak yang aku sudah derita”, menunjukkan pembelaan terang-terangan Douwes Dekker kepada rakyat Hindia Belanda pada masa itu.

Buku ini dituliskan dengan unik lewat paparan sudut pandang tiga orang pencerita. Pertama, Batavus Droogstoppel, seorang pedagang kopi yang mewakili tokoh borjuis yang penuh perhitungan dan cenderung kikir, simbol pihak Belanda yang mengeruk keuntungan dari Hindia Belanda. Ia dikisahkan sebagai kawan lama Sjaalman, yang meminta bantuannya untuk menerbitkan sebuah buku.

Kedua, yakni Ernest Stern, pemuda Jerman yang menuliskan gambaran kehidupan di Jawa dan beberapa penyalahgunaan kekuasaan yang didokumentasikan Sjaalman. Secara umum, digambarkan pula pengalaman tokoh Max Havelaar (tokoh yang mewakili Dekker), asisten residen di Hindia Belanda, saat membela masyarakat lokal yang tertindas.

Multatuli sendiri menjadi pencerita di bagian akhir buku, menyampaikan permintaannya untuk menghentikan kesewenang-wenangan dan korupsi di Hindia Belanda. Serupa dengan apa yang ia tuliskan dalam bukunya: “Walaupun sendirian, jika perlu, dia akan menegakkan keadilan, dengan atau tanpa bantuan orang lain.”


(Shelbi Asrianti)