(Berita telah diterbitkan di Rubrik Urbana Harian Umum Republika edisi Senin, 11 Mei 2015)
Ketika mencapai usia seratus tahun, sebagian orang
barangkali akan mulai berkontemplasi. Merenungi jalan yang usai
ditapaki, seraya memanjatkan syukur atas nikmat usia yang telah Tuhan
beri.
Namun, Allan Karlsson melakukan lebih. Pada hari jadinya yang kesatu abad, ia justru memulai petualangan baru yang seru.
Mantan ahli dinamit itu memutuskan untuk pergi dari panti jompo
tempat ia tinggal, dengan kabur lewat jendela. Lantas, tanpa tujuan ia
berkelana. Namun, pertemuan demi pertemuan menambah lagi deretan panjang
pengalaman hidupnya.
Allan adalah tokoh utama dalam film The 100-Year-Old Man
Who Climbed Out The Window And Disappeared. Aksi pria sepuh energik
yang diperankan Robert Gustafsson tersebut berhasil menghibur sekaligus
menyampaikan pesan-pesan filosofis.
Pemutaran perdana film komedi asal Swedia itu menjadi pembuka festival film Europe on Screen (EOS) 2015. Tahun ini, telah kali ke-15 EOS diadakan.
"Kami dengan bangga menampilkan 62 film berkualitas tinggi
dari 21 negara Eropa," ungkap Pelaksana Tugas Duta Besar Uni Eropa,
Colin Crooks.
EOS 2015 menghadirkan berbagai film
yang telah menyabet penghargaan bergengsi. Sebut saja film asal Turki, Winter Sleep yang memenangi Cannes 2014. Ada pula Citizenfour, film
Jerman yang menyabet Oscar 2015 sebagai pemenang dokumenter terbaik.
Film Polandia Ida, pemenang Oscar dalam kategori film asing terbaik, juga dapat disaksikan di lokasi pemutaran EOS.
Sementara 100-Year-Old Man yang diadaptasi dari novel terlaris karya
Jonas Jonasson merupakan juara Festival Film Internasional Chicago 2014.
Crooks mengatakan, perfilman Eropa sarat dengan
keanekaragaman dan kreativitas. Dengan menghadirkan Eropa dalam layar,
ia berharap terdapat pemahaman dan toleransi lintas budaya yang
tercapai.
"Film-film ini tidak hanya ekspresi menakjubkan dari
keragaman budaya kami, tetapi juga cara yang ampuh untuk
mengomunikasikan ide-ide lintas batas," ujarnya.
Direktur Festival EOS 2015, Orlow
Seunke, menuturkan bahwa pengunjung festival bisa mencicipi berbagai
'rasa' film yang beragam. Kategori film antara lain Xtra Section (16
film), Discovery Section (15 film), Docu Section (11 film dokumenter),
Retro Section (6 film), Children Section (6 film), dan Open Air Section
(8 film).
Jika menginginkan rasa ekstra, Seunke menyarankan untuk
menonton film di kategori Xtra Section. Seluruh 16 film pada seksi itu
adalah film yang merajai box office dengan aktor dan sutradara ternama.
"Seluruh kategori memiliki ciri khasnya masing-masing. Selamat menikmati," tukasnya.
Selama sepuluh hari (1-10/5), EOS berlangsung di enam kota besar di Indonesia. Kota-kota itu adalah Jakarta, Bandung, Denpasar, Medan, Surabaya, dan Yogyakarta.
Tempat pemutaran di Jakarta juga dibagi di beberapa lokasi.
Film bisa ditonton secara gratis di Bintaro Jaya Xchange Mall, Taman
Kodok Menteng, Institut Francais Indonesia (IFI), London School of
Public Relations (LSPR), Universitas Multimedia Nusantara (UMN),
Goethe-Institute Jakarta, dan Erasmus Huis.
Salah satu pengunjung, Johannes Oscar, menganggap film-film yang diputar di EOS
2015 bisa menambah wawasan mengenai Eropa. Oscar berkata, mempelajari
alur dan konten film juga menjadi pembelajaran tersendiri.
"Jadi referensi baru bagi saya, bagaimana cara mengemas
film versi Eropa," tutur mahasiswa semester enam Jurusan Sinematografi
Universitas Multimedia Nusantara (UMN) itu.
Oscar yang telah bekerja sebagai praktisi EO itu mengaku bahwa dirinya termasuk movie addict. Selama sepekan EOS 2015, ia menonton tiga film Eropa, yaitu Warsaw '44, Daylight, dan Only The Best for Our Son.
Daylight adalah film Belanda yang disutradarai Diederik
Van Rooijen. Plot film menuturkan tentang Iris Boelens, seorang
pengacara yang mengungkap rangkaian perkembangan kasus pembunuhan.
Sementara, Warsaw '44 bercerita tentang peperangan tahun
1944, saat Nazi menduduki Warsawa.
Film Polandia itu mengisahkan pemuda
Stefan (18), yang berjuang dalam perang. Oscar mengaku paling terkesan
dengan film yang disutradarai Jan Komasa itu. "Menarik sekali. Cara penyampaiannya bisa membuat emosi
penonton terbawa," cetus Oscar yang sudah memproduksi empat film pendek
dan satu dokumenter itu.
Perkaya Khazanah Perfilman
Setiap pagi, tak ada yang paling diinginkan Jackson,
Carlito, Zahra, dan Samuel, selain pergi ke sekolah. Semangat mereka tak
pernah padam meski perlu perjuangan keras untuk sekedar sampai ke
kelas.
Jackson (10) asal Kenya, harus menghadapi kemungkinan
serangan gajah sepanjang perjalanannya ke sekolah. Di Argentina, Carlito
(11), anak sekecil itu, berkuda melewati pegunungan Patagonia.
Ada pula Zahira (12) di Maroko, yang berjalan kaki menempuh
jarak 22 kilometer. Lalu Samuel (11) dari India, siswa dengan
keterbatasan fisik, yang harus berkursi roda di atas jalan terjal.
Meski tak saling mengenal, kondisi keempat anak itu serupa.
Gambaran nyata itu ingin mengingatkan penonton untuk mensyukuri
nikmatnya bisa bersekolah dengan nyaman.
Kisah para siswa pejuang tersebut didokumentasikan dalam
tayangan dokumenter berjudul On the Way to School. Besutan sutradara
Belanda Pascal Plisson itu termasuk seri dokumenter (Docu Section) pada
Europe on Screen (EOS) 2015.
Keseluruhan sebelas tayangan dokumenter yang ditayangkan EOS
antara lain 20.000 Days on Earth, Ai Weiwei: The Fake Case, Citizenfour, Dutch Weed, Homme Less, My Name is Salt, On the
Way to School, Only the Best for Our Son, Steak (R)evolution, The
Special Need, dan Trespassing Bergman.
Venue Coordinator EOS 2015 di Pusat
Kebudayaan Jerman Goethe Institute, Vania Ivena, menyebutkan bahwa daya
tarik tayangan dokumenter tak kalah dengan film fiksi. Buktinya,
fluktuasi jumlah pengunjung saat pemutaran Docu Section tak surut.
"Saat pemutaran Citizenfour di Goethe, malah termasuk paling tinggi. Ditonton 275 orang," ungkap Vania.
Tayangan lain dari Swedia, Trespassing Bergman, juga
menyedot pemirsa. Film dokumenter itu mengulas segala tentang almarhum
sutradara kondang Swedia, Ingmar Bergman. Jane Magnusson selaku
sutradara mendokumentasikan perjalanan sejumlah film maker terkenal yang
bertandang ke kediaman mendiang Bergman di pulau terpencil Faro, yang
kini difungsikan sebagai museum.
Beberapa dari para sutradara itu di antaranya Michael
Haneke, Woody Allen, Martin Scorsese, John Landis, Lars von Trier,
Alejandro Gonzalez Inarritu, Claire Denis, Wes Craven, Takeshi Kitano,
Ang Lee, dan Zhang Yimou. Mereka menyampaikan pandangan mereka tentang
sosok Bergman yang inspirasional.
Dokumenter itu juga menyajikan kronologi karir dan sejumlah
cuplikan dari karya termashyur Ingmar Bergman. Karya-karyanya dikenal
sarat filosofi kehidupan, tetapi ringan dan penuh humor elegan.
Pengunjung EOS, Karlina Octaviany
(30) mengatakan bahwa Trespassing Bergman memperkaya pengetahuannya
tentang perfilman. Sebelumnya, Karlina belum pernah menonton karya
Bergman, yang telah memproduksi film sejak 1950-an.
Perempuan yang bekerja sebagai konsultan media sosial di
PNPM Support Facility itu tak menyangka bahwa sosok Bergman-lah yang
menjadi inspirasi bagi sederet sutradara penting di dunia. Karlina geli
saat mendengar sutradara Alejandro Gonzalez Inarritu menyebut rumah
Bergman layaknya kiblat insan perfilman.
"Jadi ingin lihat filmnya Ingmar Bergman. Terutama yang The Seventh Seal," ungkap Karlina, yang datang ke EOS setiap hari untuk menikmati film Eropa.