27 Mei 2015

Ragam Rasa Sinema Eropa


(Berita telah diterbitkan di Rubrik Urbana Harian Umum Republika edisi Senin, 11 Mei 2015)

Ketika mencapai usia seratus tahun, sebagian orang barangkali akan mulai berkontemplasi. Merenungi jalan yang usai ditapaki, seraya memanjatkan syukur atas nikmat usia yang telah Tuhan beri.

Namun, Allan Karlsson melakukan lebih. Pada hari jadinya yang kesatu abad, ia justru memulai petualangan baru yang seru.

Mantan ahli dinamit itu memutuskan untuk pergi dari panti jompo tempat ia tinggal, dengan kabur lewat jendela. Lantas, tanpa tujuan ia berkelana. Namun, pertemuan demi pertemuan menambah lagi deretan panjang pengalaman hidupnya.

Allan adalah tokoh utama dalam film The 100-Year-Old Man Who Climbed Out The Window And Disappeared. Aksi pria sepuh energik yang diperankan Robert Gustafsson tersebut berhasil menghibur sekaligus menyampaikan pesan-pesan filosofis.

Pemutaran perdana film komedi asal Swedia itu menjadi pembuka festival film Europe on Screen (EOS) 2015. Tahun ini, telah kali ke-15 EOS diadakan.

"Kami dengan bangga menampilkan 62 film berkualitas tinggi dari 21 negara Eropa," ungkap Pelaksana Tugas Duta Besar Uni Eropa, Colin Crooks.

EOS 2015 menghadirkan berbagai film yang telah menyabet penghargaan bergengsi. Sebut saja film asal Turki, Winter Sleep yang memenangi Cannes 2014. Ada pula Citizenfour, film Jerman yang menyabet Oscar 2015 sebagai pemenang dokumenter terbaik.

Film Polandia Ida, pemenang Oscar dalam kategori film asing terbaik, juga dapat disaksikan di lokasi pemutaran EOS. Sementara 100-Year-Old Man yang diadaptasi dari novel terlaris karya Jonas Jonasson merupakan juara Festival Film Internasional Chicago 2014.

Crooks mengatakan, perfilman Eropa sarat dengan keanekaragaman dan kreativitas. Dengan menghadirkan Eropa dalam layar, ia berharap terdapat pemahaman dan toleransi lintas budaya yang tercapai.

"Film-film ini tidak hanya ekspresi menakjubkan dari keragaman budaya kami, tetapi juga cara yang ampuh untuk mengomunikasikan ide-ide lintas batas," ujarnya.

Direktur Festival EOS 2015, Orlow Seunke, menuturkan bahwa pengunjung festival bisa mencicipi berbagai 'rasa' film yang beragam. Kategori film antara lain Xtra Section (16 film), Discovery Section (15 film), Docu Section (11 film dokumenter), Retro Section (6 film), Children Section (6 film), dan Open Air Section (8 film).

Jika menginginkan rasa ekstra, Seunke menyarankan untuk menonton film di kategori Xtra Section. Seluruh 16 film pada seksi itu adalah film yang merajai box office dengan aktor dan sutradara ternama.

"Seluruh kategori memiliki ciri khasnya masing-masing. Selamat menikmati," tukasnya.

Selama sepuluh hari (1-10/5), EOS berlangsung di enam kota besar di Indonesia. Kota-kota itu adalah Jakarta, Bandung, Denpasar, Medan, Surabaya, dan Yogyakarta.

Tempat pemutaran di Jakarta juga dibagi di beberapa lokasi. Film bisa ditonton secara gratis di Bintaro Jaya Xchange Mall, Taman Kodok Menteng, Institut Francais Indonesia (IFI), London School of Public Relations (LSPR), Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Goethe-Institute Jakarta, dan Erasmus Huis.

Salah satu pengunjung, Johannes Oscar, menganggap film-film yang diputar di EOS 2015 bisa menambah wawasan mengenai Eropa. Oscar berkata, mempelajari alur dan konten film juga menjadi pembelajaran tersendiri.

"Jadi referensi baru bagi saya, bagaimana cara mengemas film versi Eropa," tutur mahasiswa semester enam Jurusan Sinematografi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) itu.

Oscar yang telah bekerja sebagai praktisi EO itu mengaku bahwa dirinya termasuk movie addict. Selama sepekan EOS 2015, ia menonton tiga film Eropa, yaitu Warsaw '44, Daylight, dan Only The Best for Our Son.

Daylight adalah film Belanda yang disutradarai Diederik Van Rooijen. Plot film menuturkan tentang Iris Boelens, seorang pengacara yang mengungkap rangkaian perkembangan kasus pembunuhan.
Sementara, Warsaw '44 bercerita tentang peperangan tahun 1944, saat Nazi menduduki Warsawa. 

Film Polandia itu mengisahkan pemuda Stefan (18), yang berjuang dalam perang. Oscar mengaku paling terkesan dengan film yang disutradarai Jan Komasa itu. "Menarik sekali. Cara penyampaiannya bisa membuat emosi penonton terbawa," cetus Oscar yang sudah memproduksi empat film pendek dan satu dokumenter itu.

Perkaya Khazanah Perfilman

Setiap pagi, tak ada yang paling diinginkan Jackson, Carlito, Zahra, dan Samuel, selain pergi ke sekolah. Semangat mereka tak pernah padam meski perlu perjuangan keras untuk sekedar sampai ke kelas.

Jackson (10) asal Kenya, harus menghadapi kemungkinan serangan gajah sepanjang perjalanannya ke sekolah. Di Argentina, Carlito (11), anak sekecil itu, berkuda melewati pegunungan Patagonia.

Ada pula Zahira (12) di Maroko, yang berjalan kaki menempuh jarak 22 kilometer. Lalu Samuel (11) dari India, siswa dengan keterbatasan fisik, yang harus berkursi roda di atas jalan terjal.

Meski tak saling mengenal, kondisi keempat anak itu serupa. Gambaran nyata itu ingin mengingatkan penonton untuk mensyukuri nikmatnya bisa bersekolah dengan nyaman.

Kisah para siswa pejuang tersebut didokumentasikan dalam tayangan dokumenter berjudul On the Way to School. Besutan sutradara Belanda Pascal Plisson itu termasuk seri dokumenter (Docu Section) pada Europe on Screen (EOS) 2015.

Keseluruhan sebelas tayangan dokumenter yang ditayangkan EOS antara lain 20.000 Days on Earth, Ai Weiwei: The Fake Case, Citizenfour, Dutch Weed, Homme Less, My Name is Salt, On the Way to School, Only the Best for Our Son, Steak (R)evolution, The Special Need, dan Trespassing Bergman.

Venue Coordinator EOS 2015 di Pusat Kebudayaan Jerman Goethe Institute, Vania Ivena, menyebutkan bahwa daya tarik tayangan dokumenter tak kalah dengan film fiksi. Buktinya, fluktuasi jumlah pengunjung saat pemutaran Docu Section tak surut.

"Saat pemutaran Citizenfour di Goethe, malah termasuk paling tinggi. Ditonton 275 orang," ungkap Vania.

Tayangan lain dari Swedia, Trespassing Bergman, juga menyedot pemirsa. Film dokumenter itu mengulas segala tentang almarhum sutradara kondang Swedia, Ingmar Bergman. Jane Magnusson selaku sutradara mendokumentasikan perjalanan sejumlah film maker terkenal yang bertandang ke kediaman mendiang Bergman di pulau terpencil Faro, yang kini difungsikan sebagai museum.

Beberapa dari para sutradara itu di antaranya Michael Haneke, Woody Allen, Martin Scorsese, John Landis, Lars von Trier, Alejandro Gonzalez Inarritu, Claire Denis, Wes Craven, Takeshi Kitano, Ang Lee, dan Zhang Yimou. Mereka menyampaikan pandangan mereka tentang sosok Bergman yang inspirasional.

Dokumenter itu juga menyajikan kronologi karir dan sejumlah cuplikan dari karya termashyur Ingmar Bergman. Karya-karyanya dikenal sarat filosofi kehidupan, tetapi ringan dan penuh humor elegan.

Pengunjung EOS, Karlina Octaviany (30) mengatakan bahwa Trespassing Bergman memperkaya pengetahuannya tentang perfilman. Sebelumnya, Karlina belum pernah menonton karya Bergman, yang telah memproduksi film sejak 1950-an.

Perempuan yang bekerja sebagai konsultan media sosial di PNPM Support Facility itu tak menyangka bahwa sosok Bergman-lah yang menjadi inspirasi bagi sederet sutradara penting di dunia. Karlina geli saat mendengar sutradara Alejandro Gonzalez Inarritu menyebut rumah Bergman layaknya kiblat insan perfilman.

"Jadi ingin lihat filmnya Ingmar Bergman. Terutama yang The Seventh Seal," ungkap Karlina, yang datang ke EOS setiap hari untuk menikmati film Eropa.

n c34/Shelbi Asrianti



Tidak ada komentar: