21 Juli 2016

Berbagi Buai



Antara kita, tak ada sebutan belahan jiwa. Sebab kita memang tidak berbagi jiwa. Tidak juga hati, cinta, atau hubungan fana macam romansa.

Kita hanya dua orang yang berjumpa kembali pada sebuah petang di persimpangan kota. Hidup memang jenaka. Memisahkan dua orang sekian lama, kemudian mempertemukan lagi pada detik tak terduga.

Kamu tetap tampan. Kamu kenakan senyum yang sejak dulu mendebarkan. Kamu bilang aku makin menawan. Kamu ingatkan permulaan kita kenal dan jumpa, sewindu yang lalu. Tawamu rekah membandingkan kita kini dan lampau, seolah nostalgia yang lucu.

Lalu kita biarkan perasaan melambung sejenak. Meledak-ledak. Sekejap kita kira itu kobaran berkelanjutan. Tapi kita bergegas sadari, tak ada letup kembang api yang abadi. Pijar warna-warni mendebarkan di langit malam itu menyala untuk padam.

Pada akhirnya, aku dan kamu memutuskan selalu bersama. Saling menemani dalam dentang kala. Tapi kita bukan memberikan hati atau menerima cinta. Kita hanya menikmati suasana. Berbagi tenggat yang membuai untuk kelak dikenang dengan bahagia.

A Moment to Remember.

16 Juli 2016

Mood Swing, Polisi, dan Naruto

Kredit foto: simpsonswiki.com


Suasana hatiku lagi nggak enak. Mood swing, istilah kerennya. Seperti segala hal salah. Aku benci cuaca mendung sejak pagi. Aku benci hujan tiba-tiba turun pas aku lagi di jalan. Padahal motorku si Spooky Awan Kintoun bbrp hari lalu baru dicuci. Aku benci kenapa tukang soto ini salah ngebuatin Soto Mie Bogor padahal aku pesennya Soto Tangkar. Tapi ga bisa diganti lagi. Sayang juga kalo dibuang jd harus dihabisin. Pokoknya semua salah. Semuanya menyebalkan hari ini.

Aku cemberut aja di warung pinggir jalan Pasar Minggu. Gak ada yang menarik. Utang tulisan numpuk tapi belum ada inspirasi judul dan paragraf pembuka. Kepala n badan lagi ga enak abis kena angin perjalanan Bogor-Depok-Jakarta kemaren. Ditambah meriang gara-gara akumulasi rasa capek liputan di Puncak naik motor sejak awal bulan. Everything sucks.

Romansa, jangan ditanya. Gak ada yang bikin semangat. Bisa dibilang aku masuk dalam pasukan jones pengharap Malming nanti hujan gede. Secara, hubungan konvensional baru kandas bulan lalu. Sementara sobat-sobat yang dikira bisa jadi pelipur lara justru jauh karena kesibukan. Sometimes aku menjelma sosok tradisional. Nyesel sendiri dengan tidak sejalannya pertambahan usia dan kemampuan menentukan pilihan pasangan hidup. Oh, man! Umur udah 26 tahun tapi cerita happily ever after ala Princess2 Disney masih ga jelas rimbanya.

Itu semua bikin kebiasaan lamaku balik lagi. Ngelamun di pinggir jalan. Untung warung soto tempat aku sekalian neduh abis keujanan ini ga terlalu rame. Jadi, ga ada kans tempat duduk digusur karena kepenuhan pengunjung. Pandanganku mulai kosong. Pikiran mabur ke mana-mana.

Hujan reda. Tiba-tiba, ada mobil patroli polisi berhenti di parkiran ruko. Pintu pengemudinya pas di hadapan arah dudukku. Still don't care. Aku tetep makan sambil bengong.

Dua orang turun. Dua petugas berseragam yang mampir makan siang. Satu memutuskan duduk di sebrangku. Satu lagi di sampingku. Inisialnya masing-masing H dan A. Kebaca dari label nama di seragam mereka. Pesen dua mangkok soto.

H, polisi di seberangku bertipe lebih supel dari A yang ada di sampingku. Kebaca banget dari cara dia nyapa tukang warung, tukang parkir, celetukan2 iseng dll. Tipe manusia yang ke mana-mana ngajak orang sebelahnya ngobrol. Tipe yang biasanya memudahkan wawancara tapi saat ini malah kuhindari banget.

Aku berkutat dengan makanan, sebisa mungkin ga melayangkan pandangan mata ke dia. Soalnya aku tahu banget satu pandangan mata yang bertemu bakal berlanjut dengan basa-basi "kok sendirian?" "temannya mana?" "kerja di mana" bla bla bla. I'm really not in the good mood.

Gagal rupanya. Walaupun dua tiga sapaan awal aku jawab seadanya, Bapak (atau Mas?) inisial H ini ngotot ngajak ngobrol lagi dan lagi. Gak sadar banget dengan senyum asem n tawa maksa ku. Akhirnya malah gak bisa aku abaikan gitu aja.

"Wah, wartawan di R ya? Bidang liputannya apa?"
 "Oh, rumahnya di Bogor? Sebelah mana?  Rumah saya juga di Bogor, daerah C. Mampir lah kalau lewat."

"Iya kami lagi patroli, mampir makan. Kamu ada saudara polisi?"

Dll dsb. Prosedur standar. Sampe mereka selesai makan pun, obrolan lanjut2 gitu. Ujung-ujungnya pasti bakal sama. Minta kontak. Bener kan. H minta nomer hape n pin BB-ku. Atas nama profesi, pulisi n wartawan yang kudu connected, ku beri aja lah. Abis gini cabut, cari tempat bengong yang lebih privat.

Satu hal absurd lagi, bapak H itu ternyata penyuka Naruto. Sampe2 DP BBM n whatsapp dy bergambar Sharingan, jurus mata khas klan Uchiha n jurusnya beberapa karakter di Naruto.

"Iya saya suka Naruto, di rumah banyak figurinnya. Jagoan saya Gaara. Tahu nggak?"

Heran. Bapak ini umur berapa sih. Aku bilang aku juga suka Naruto. Bahkan aku punya lensa kontak merah ala-ala Sharingan. Dan aku suka Kakashi. Soalnya cool. Ganteng lagi.

Cukup kayaknya. Aku pamitan, bayar soto, n jalan ke parkiran. Pake helm, nyetater motor.

"Shelbi!" Bapak2 H itu manggil. Apa lagi dah. Aku noleh. Mengernyit. Ga pake senyum.

"Langsung aja. Tukang parkirnya CS kita kok." Ternyata mereka juga udah naik ke mobil pas aku jalan ke parkiran. Jendela mobilnya dibuka n mereka lagi ngobrol sama oom2 parkiran.

Gitu aja. Masak iya cuman dua ribu minta gretong. Aku tetep aja siapin duit, tapi oom2 parkiran itu senyum tulus n nolak. Ya udah.

Di atas motor, aku mikir tempat mana yang enak buat bengong tanpa interupsi. Tiba-tiba aku diklakson. Mobil pulisi Pak H dan Pak A. Melintas dari belakang.

"Duluan ya, Mbak. Hati-hati." Pak A di kursi sebelah kiri nyapa sambil melambai. Senyum ramah.

Sambil nyetir aku ngangguk n balas senyum. Tiba-tiba bad mood ku sedikit mereda. Kok bisa? Mungkin aku cuma butuh sedikit membuka hati pada dunia.