27 Mei 2015

Sosok Tangguh Perempuan Minang


(Berita telah diterbitkan di Rubrik Urbana Harian Umum Republika edisi Jumat, 15 Mei 2015)

Seorang perempuan mendesah resah. Berkain jingga berkudung hijau, ia dendangkan sajak risau.

"Air di mana arus, sungai di mana gunung. Angin di mana debu, badai di mana larai. Rumah di mana atap," sergahnya menatap langit.

Lantas ia terpejam, tenggelam dalam gerak teaterikal yang muram. Hentak bilah bambu dan siul saluang menemani geriknya.

Dialah sosok Gondan Gondoriah, yang hatinya tengah bergejolak. Tokoh dalam legenda Minangkabau berjudul "Kaba Anggun Nan Tongga" itu, dikisahkan kembali dalam pertunjukan seni bertajuk "Lini Lain Matrilini".

Gondoriah tengah bersusah hati, akibat pengkhianatan Anggun Nan Tongga, sang kekasih. Namun, ia perempuan Minang. Baginya, tak layak meratapi lelaki.

"Tahu di bayang kata sampai. Tahu di kilat cermin pecah. Tahu di hulu gabak hujam. Tahu di riak resah jaman. Tahu di hulu persoalan," kembali ia bersyair, melagukan firasat di jiwanya.

Sebelumnya, kala Anggun Nan Tongga mohon diri pamit merantau, Gondoriah memintanya membawakan semacam mainan. Burung yang bisa bicara, pintanya.

Namun, burung unik itu hanya dipunyai seorang putri di negeri berantah. Sang putri bersedia memberikan miliknya, asal Nan Tongga mau menikahinya.

Gondoriah menyesalkan keputusan Nan Tongga yang akhirnya menikahi putri. Sejatinya, Gondoriah hanya ingin menguji kesetiaan sang terkasih. Maka, ketika pulang Nan Tongga dari rantau membawa mainan, Gondoriah justru menolaknya dan menganjurkan Nan Tongga kembali pada istrinya.

Pentas berdurasi 30 menit itu bertempat di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Minggu (10/5). Sembilan penampil yang berasal dari Sanggar Seni Sikambang Manih, menyajikan kolaborasi rancak yang memukau.

Cerita dibawakan dengan memadukan gerak tari, seni lagu, drama, musik, silat, dan dendang. Randai, seni khas Minangkabau itu dipermanis oleh unsur gurindam atau syair yang didendangkan, dan unsur buah kato pada biduan.

Empat orang penari, dua pasang lelaki perempuan, membawakan Tapuak Galemboang. Penampil tarian khas daerah itu mengenakan celana panjang hitam yang di bagian kanan-kirinya tersambung bahan untuk menghasilkan suara saat ditepuk secara keras dan serempak.

Gerak tari dan teaterikal yang menggunakan properti piring khas Minang ditampilkan pada adegan puncak. Riuh bunyi piring yang bergesekan mengekspresikan turbulensi emosi Gondan Gondoriah.

Pendiri Sanggar Sikambang Manih, Susasrita Loravianti, mengatakan bahwa pentas itu bukan sebatas upaya kelenturan fisikal belaka. Perempuan yang akrab disapa Uni Lora itu berujar, ada upaya untuk menumbuhkan kembali gagasan kultural lokal.

Upaya itu merupakan refleksi atas realitas sosio-kultural yang berlangsung dalam masyarakat Minangkabau, yakni sistem matrilineal. Matrilineal adalah sistem adat masyarakat yang mengatur alur keturunan dari pihak ibu.

"Seni pertunjukan ini menceritakan sosok perempuan Minang dalam sistem matrilini. Itu sebabnya, judulnya Lini Lain Matrilini," ungkap doktor lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu.

Menurut Uni Lora, sistem matrilineal telah menempatkan perempuan dalam posisi ideal. Sementara, sosok Gondan Gondoriah dianggap mewakili ikon ketangguhan perempuan Minang, meski hatinya hancur akibat kesetiaan yang dilanggar.

"Bagaimana penonton bisa melihat posisi perempuan, kekuatan perempuan Minang. Nilai filosofi berpegang teguh pada dirinya sendiri sebagai seorang perempuan. Harus mandiri. Tanpa laki-laki pun kenapa tidak," tukas Uni Lora, yang juga berprofesi sebagai dosen di ISI Padang Panjang.

Uni Lora yang sore itu memerankan Gondan Gondoriah mengatakan, sajak yang ia bacakan merupakan bait dari puisi "Senandung Perempuan Negeriku". Karya itu digubah oleh sastrawan perempuan ternama asal Sumatera Barat, Upita Agustine.

Salah satu penonton pertunjukan, Riri Basir (48), mengaku terhanyut dengan kisah pencarian cinta dan nilai filosofis yang ditampilkan "Lini Lain Matrilini". "Saya sangat terharu sekali dengan pertunjukan ini," ungkap alumnus Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Padang yang kini berdomisili di Jakarta itu

Bangga Tradisikan Budaya
 
"Kaba Anggun Nan Tongga" menjadi inti cerita dalam seni pertunjukan "Lini Lain Matrilini", yang berlangsung di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, Minggu (10/5). Sebelumnya, kisah itu juga pernah dipentaskan Sanggar Seni Sikambang Manih di beberapa tempat.

"Saya gunakan pula dalam koreografi "Garak Nagari Perempuan", saat mengambil doktor di Pascasarjana ISI Surakarta," ungkap pendiri sanggar, Susasrita Loravianti, kepada Republika.

Uni Lora, panggilannya, selalu merasa bangga membawakan seni budaya ke manapun ia pergi. Konsistensi melestarikan tradisi itu yang membuat ia dan suaminya, Emri, mendirikan Sanggar Seni Sikambang Manih pada 15 Februari 2004 di Padang Panjang, Sumatera Barat.

Sikambang Manih, yang dalam bahasa Indonesia bermakna si kembang manis, telah mengikuti berbagai festival seni di ranah nasional maupun internasional. Sanggar itu berpartisipasi dalam Pagelaran Drama Muzikal Tuan Garang di beberapa kota di Malaysia tahun 2006, Enchanting of Culture Indonesia di Singapura tahun 2007, dan Pesta Gendang Nusantara di Malaka tahun 2008.

Di dalam negeri, Sikambang Manih kerap berpentas di aneka perhelatan besar. Misalnya, Parade Tari Nusantara TMII Jakarta tahun 2009, Kemilau Sumatera di Jambi tahun 2012, hingga Gelar Tari Nusantara di Mataram.

Meski mempelajari berbagai jenis seni sejak sekolah menengah hingga tingkat doktoral, Uni Lora cenderung lebih sering membawakan kultur budaya asli Indonesia. Bahkan, jika berpentas di dalam negeri, ia setia pada konten pertunjukan Minangkabau.

"Bila dilihat orang di luar etnis, tetap menjadi sesuatu yang menarik. Belum tentu juga anak-anak atau kaum muda pernah menyaksikan pentas ini," tutur perempuan kelahiran Muaro Labuah, Solok, Sumatera Barat itu.

Terlebih, menurutnya, kebudayaan Minangkabau sangat dinamis dan terbuka pada penyesuaian dengan inovasi-inovasi baru. Hal itu memudahkan untuk melakukan beberapa adaptasi dengan perkembangan masyarakat masa kini.

"Meski begitu, kami tetap tidak menghilangkan identitas asli Minangkabau yang sangat unik," ujarnya. Uni Lora berharap, para penikmat seni dapat terus mencintai budaya Minangkabau sebagai salah satu budaya Indonesia yang patut dibanggakan.

Sementara itu, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, Renitasari Adrian, mengatakan bahwa banyak sekali seni budaya Indonesia yang belum terjamah. Hal itu termaklumi karena Indonesia memiliki kurang lebih 350 etnis suku dengan 483 bahasa dan budaya.

Karenanya, lanjut Renitasari, pihaknya menyediakan Galeri Indonesia Kaya sebagai ruang publik untuk memperkenalkan dan melestarikan kebudayaan Indonesia. Siapapun bisa bertandang ke galeri yang berlokasi di West Mall Grand Indonesia Shopping Town lantai delapan, Jakarta, itu, tanpa dipungut biaya.

Bagi Renita, sudah sepatutnya masyarakat Indonesia mengenali identitas dan mendukung segala aspek seni dan budaya kebanggaan negeri. Hal itu perlu demi kemajuan Indonesia.

"Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya," cetusnya.

n c34/Shelbi Asrianti | Editor: Dewi Mardiani








Tidak ada komentar: