22 Oktober 2014

Pada Sebuah Kencan

Seorang kawan yang kasmaran mulai berkencan. Ia menanyakan kencan-kencanku yang telah lalu. Ini jawabku:

Bagiku, kencan adalah suatu senja. Ketika Ayah dan aku bermobil berdua saja. Ia pada kemudi, aku di bangku kiri. Melintasi jalan mulus tol Jagorawi. Kami berbincang tentang dunia dan yang bukan dunia. Tentang indah bentang horizon yang menggelap dengan segera. Tentang waktu yang terlalu cepat berlari fana. Tentang hidup yang sarat kesementaraan. Juga, hidup setelah hidup yang tak berkesudahan. Segala tentang.

Kencan juga ialah suatu terik. Saat aku bersama sosok yang lain, merenungi laut. Dia yang teristimewa. Yang tak pernah terganti meski dunia melebarkan jarak dan ruang antara. Kala itu di bawah langit biru, reramai bocah mengerumuni kerang dekat buih merdu. Hembusan angin membasuhi gelombang menuju pasir. Segala riuh. Namun kami menikmati sunyi. Hening yang bening, senyap yang tak dangkal.

Padaku pula, kencan berlangsung di suatu mendung. Awan kelabu bergulung namun perjalanan tak sempat murung. Gelak ramai, dendang dawai, suara riang, mengambang tanpa ujung. Hingga sore suwung.

Pun kencan menjelma suatu purnama. Masih bersama dia. Ya, dia yang tak terjangkau tapi teristimewa. Benderang emas rembulan menyapa di atas kepala. Segala mimpi dan nyata seolah tak berbeda. Dunia sejenak membolehkan aku-dia bersama, pada sebuah jeda. Dan tak ingin kami berharap ada akhir dari rasa. Ah. Betapa kemustahilan yang niscaya.

Maka kusebut inilah kencan terindahku: hanya aku dan Ibu. Per-empu-an lembut yang mengasihiku selalu. Pelukan hangat tanpa tendensi maupun batas waktu. Tak pernah kulupa ribuan kencan sederhana itu; di kamar tidurku. Mataku kerjap usai dongeng dibacakan, hingga doa sebelum tidur kami lafalkan. Kata cinta dibisikkan dekat telingaku, kecup di keningku. Aku terlelap, dijaga cinta Ibu.

Lalu, kawan, bagaimana tadi kencanmu?

Tidak ada komentar: