24 Januari 2012

That’s Why I Prefer Traditional Market



Sangat menyenangkan mengetahui banyak detail unik yang bisa kujumpai di pasar tradisional. Misalnya, ekspresi puluhan ayam yang menunggu nyawanya berakhir di pisau juru jagal. Kasihan ya. Pemandangan di tukang daging yang menyeramkan.

Juga unsur kompetisi tersirat antara tukang sayur yang bersebelahan (khususnya penjual ibu-ibu). Masing-masing kerap memberikan lirikan sinis tiap kali ada pelanggan yang kebetulan berbelanja di kios sebelah. (kenapa gak beli di aku aja sih? Gitu kira-kira arti pandangannya).

Selain itu, kuperhatikan banyak lelaki muda yang duduk diam di atas motornya, menunggu ibunya berbelanja. Agaknya biar gak perlu bayar ongkos parkir. Hemat, bebh. Ahaha.

Terkadang, ada pula insiden tak terduga. Suatu pagi aku dikagetkan oleh seorang gadis kecil berusia sekitar empat tahun berlari menyeberangi jalanan pasar yang penuh lalu lalang motor. Kontan saja ayah gadis kecil itu panik dan segera menyongsong putrinya dengan wajah khawatir. Untunglah tak terjadi apapun pada gadis mungil berjilbab itu. Si kecil hanya mengikik tanpa dosa, dan ayahnya -sang pria berjenggot lebat itu- tak mampu memarahinya. Ia hanya ikut tergelak dan mengangkat anaknya ke atas bahu, memastikan tak ada lagi lari-lari di jalan sembarangan.

Oh ya, jangan sampai aku lupa bercerita tentang para tukang bumbu dapur, tukang tempe, tukang pukis, dan tukang pindang. Tukang bumbu dapur namanya Ibu Sabar (soalnya orangnya baik dan sabar). Tukang tempe ma Rahman (wajahnya kayak Bamz The Samsons, suwer). Tukang pukis mr.unknown (belom kenalan) dan tukang pindang Bu Hanafi (soalnya beliau bunda dari Hanafi). Mereka akan tetap nyapa meski aku tak membeli apapun di kios mereka. Kebetulan beberapa dari mereka sudah tahu namaku, terkadang mereka menyapaku: “dek..”, “mbak..”, “nduk..”, “Bi..”, atau hanya tersenyum. Rasanya menyenangkan. :D

Pagi ini, bertambah lagi daftar alasan mengapa aku menikmati berbelanja di pasar tradisional. Tentu ada kaitannya sama Li-Senpai. ^^

Pukul setengah delapan (kesiangan yahh), aku beranjak menuju pasar Madyopuro yang gak jauh dari rumah. Di hape, sudah ada beberapa sms yang dikirim Senpai. Tak seperti biasa, Senpai tanya-tanya soal detail ritualku ke pasar pagi. Aku kira ia akan menyempatkan diri berjumpa denganku di pasar. Ah, ke-pede-an banget sih. Gak mungkin deh. Lagian Senpai bilang dia lagi sarapan di Merjosari. Ya sudah, aku pergi berbelanja dengan nyantai.

Hampir semua item belanja titipan mama udah dibeli. Taa-daa. Tiba-tiba Senpai muncul di depan mataku seperti jin lampu. Pake jaket putih kasual, kereeeen. Ah, kapan sih dia nggak kelihatan keren di mataku. Wkwk. Aku mengulum senyum. Tengsin dikit. Pliiiz, aku cuma pake cardigan yang dua minggu gak dicuci sama training tidur. Kalo tahu bakal ketemu dia, at least aku bakal pake….. ehm, pake apa ya? Paling engga pakaian yang lebih layak. Haha.

“Senpaiii, katanya sarapan di Merjosari?” protesku.

“Kalau saya bilang saya di sini, nanti kamu gak kaget.”

Bener juga sih.

“Senpai, saya disuruh mama cari selada air. Tapi saya gak tahu bentuknya kayak gimana.”

“Masak kamu gak tahu? Saya aja tahu. Itu loh.” (nunjuk kios)

Tengsin bagian kedua. Aku yang cewe kagak tahu penampakannya selada air sementara dia tahu. Oh, man. Muka mau ditaroh mana, Bi?

Next. Pas lagi menikmati deg-degan jalan, terjadilah tengsin bagian ketiga. Belanjaanku sobek.

“Makanya, kalau belanja itu bawa keranjang plastik. Kalau belanja sama mbahmu pasti kamu diketawain,” wejangnya.

Iya-iya. Aku juga tahu sih kalo orang Jawa jaman dulu belanja selalu bawa anting (keranjang anyaman plastik) biar gak ribet.

“Tak usah grogi,” goda Senpai.

Huahhhh… >_<

Ketahuan grogi. Tapi suwer dah, sama sekali gak ada hubungannya belanjaan berhamburan sama ke-grogi-anku. Tapi, kenapa sih belanjaanku harus jatoh pas sekali-sekalinya Senpai nemenin aku di pasar. Gak asik kan. Orang tiap hari kantong plastik yang aku bawa gak pernah bermasalah. Hey, kresek, kenapa kamu harus berulah pagi ini?

Sudahlah. Paling enggak tadi Senpai bantuin ngumpulin semua belanjaan yang jatoh. So sweet.

Btw, selama ini aku selalu lihat dia di kelas. Kayaknya kesannya tinggi gede banget. Kan aku selalu duduk jadi kayak frog-angle gitu. Tapi kalo jalan sebelahan kayak tadi kelihatan gak beda jauh tingginya. Hehe. Apa sih esensinya, Bi? Tau deh.

Last, he said:

“Tadinya saya mau kagetkan kamu dengan menutup matamu dari belakang”

“Kayak sinetron aja ah, Senpai (padahal dalam hati ngarep juga).”

Begitulah. I love pasar tradisional. Wekekekekk.. :P

©©©

Quotes of the day:

“Eksotika pasar tradisional: ragam dagangan, seni tawar-menawar, keakraban, dan ketegaran. Lindungilah pasar tradisional kita.” (Li-Senpai)

Tidak ada komentar: