30 Oktober 2014

Berdamai dengan Hati


Ayah adalah cinta pertama bagi setiap anak perempuan. Jika demikian, pastilah aku mengalami patah hati pada usia sangat belia.

Syukurlah, tiap luka boleh beroleh penawar. Kini kukenang lara dengan indah, terabadikan tanpa amarah. Sehingga masih bisa kukatakan: Ayah, meski belasan lelaki datang dan singgah, engkau tetap cinta di awal mula.

Akan tetapi, seperti kata mereka: apapun yang tertulis, tetap tertulis. Kisah di bawah ini selesai kugoreskan ketika aku berusia 18, dan Ayah 45 tahun. Kala itu barangkali segalanya tengah tak terkendali. Kini, bila kau akan membacanya, kuberi satu peringatan: No hard feeling ya, Yah.
--

Selamat Ulang Tahun, Ayah!

Hidup tak akan lagi terasa sama seperti dua puluh satu tahun yang lalu. Ketika semua rasanya tak ada yang terlalu getir bagimu. Kau masihlah calon sarjana yang begitu menggebu menyongsong masa depan, meski titel sarjana belum kau kantongi dan perkuliahanmu kadang tersendat prosedur beasiswa yang rumit. Di matamu, segala cemas tak perlu.

Bagi idealisme mudamu, tak ada yang mustahil. Kau seakan tak tahu, atau tak mau tahu; bahwa jalan yang akan kau arungi penuh onak, terjal, mengguncangkan. Yang kau tahu hanyalah segalanya akan baik-baik saja. Kau sugestikan pada seluruh alam pikiranmu, yang sadar juga yang bawah sadar, bahwa kau sanggup lewati jalan itu. Tanpa luka.

Optimismemu, memang tepat guna. Membuahkan hasil. Kesuksesan. Tapi sikapmu sendirilah yang akhirnya merubuhkannya, Ayah. Meruntuhkan tiang pancang yang dulu kau tegakkan susah payah dengan kedua tanganmu sendiri. Juga menumbangkanku.

Ketika aku berusia sembilan tahun, kau beberkan segala konsepmu tentang masa depanku. Rencana-rencanamu. Harapan-harapanmu. Tuntutan-tuntutanmu. Mungkinkah semua itu ialah mimpi-mimpi terpendammu? Terkubur lama, lantas ingin kau hidupkan lagi lewat aku. Sulungmu. Saat itu aku tak mengerti. Ku hanya merekam semua dalam kaset ingatanku.

Tak sampai dua tahun kemudian, terjadi yang tak diharapkan. Perpisahan. Kau dan Ibu terberai. Akhirnya masing-masing terjerat dengan hati baru yang sesungguhnya asing. Padahal kalian tahu sama tahu bahwa cinta tak pernah pergi kemana-mana. Ia hanya tertutup kekonyolan maya. Entahlah.

Tentu saja aku dan adik-adikku terkorbankan. Tahun-tahun berjalan, tak lagi ada perjumpaan. Ke mana saja kau, Ayah? Kami sempat terpuruk, dan kau tak di sini. Sungguh, Ayah. Tak kulihat jejak-jejak kepedulianmu pada peta kehidupan kami belakangan.

Aku tak bakal bertanya dimana nuranimu, seperti telah banyak orang tanyakan. Baik terang-terangan maupun cuma dalam batin. Aku tak berniat menyalahkanmu. Tapi di satu sisi aku menyayangkanmu. Semua ini  memang kontrak nasib yang sudah digariskan, toh? Tapi, Ayah, sikap adalah pilihan hidup manusia.

Semestinya kau tak menguap lenyap tanpa asap. Engkau intelek. Cerdas. Sarjana. Jurnalis. Apa sulitnya menemukan keberadaan kami? Atau kau sudah lama tahu, namun terlalu malas mengurusi. Terakhir kali kami meneleponmu, kau putuskan sambungan. Tak adakah rindu dalam hatimu?

Aku pernah begitu membutuhkan engkau, tapi tak ada dirimu di alam atmosirku. Aku pernah begitu merindukanmu, tapi tak tampak wujudmu dalam duniaku. Sampai ku bosan sendiri. Lebih dari lelah. Kau tak pernah hadir. Selalu absen.

Ah. Begitu cepat waktu melaju. Dua puluh tiga tahun lewat, Ayah, ketika kau merayu Ibu dengan puluhan surat cinta. Bertandang ke rumahnya dengan vespa pinjaman. Berusaha keras merebut perhatian calon mertua. Dua puluh satu tahun lewat, sejak pernikahanmu dengan Ibu. Hampir delapan belas tahun lewat, sejak ku memulai bagianku dalam kefanaan ini. Hampir delapan tahun berlalu, sejak perpisahan itu. Kita telah larut dalam ketukan waktu.

Tahukah, Ayah? Keeksisanmu dalam hatiku telah menyublim. Menjelma sisa-sisa kecewa yang terhisap udara kesemuan. Lalu cinta? Tampaknya telah membeku. Kaulah yang membekukannya.

Jangan mengharap segala kembali. Karena waktu 'kan terus berhembus. Menyegerakan yang bakal pada hidup. Yang hidup pada ajal.

Ku pernah amat sangat kagum padamu. Kau perlu tahu. Kagum itu telah membatu. Tapi masih ada kasih di hati. Semoga.

Dan kini, dimanapun dirimu berada kuucapkan: Selamat Ulang Tahun, Ayah! Sudah sampai kau pada angka 45.

Jangan girang. Sebab hari ini genap setahun jatahmu tinggal di dunia berkurang. Jatah waktu untuk berbekal tinggal sedikit. Berbenahlah. Bekal itu belum cukup.

Jangan pula gentar. Kuyakin kau tak gentar. Kau tak pernah takut mati, katamu dulu. Ajal pasti menggenapi setiap nyawa.

Satu-satunya hal yang patut membuat kau gentar, hanyalah apabila kau belum melengkapi hidup dengan pemaknaan. Hal tersebut, Ayah, kau jualah yang mampu menilai. Karena hanya dirimu yang paham apa yang tersusun dalam pikiranmu.

Pilihan ada di tanganmu, Ayah. Bersikaplah.


Malang, 25 April 2008
Shelbi Asrianti

Tentu, untuk Ayahku.
Di suatu tempat di sana.

2 komentar:

emy suaida mengatakan...

Titik embun pun tumbuh di ujung mata susai membaca rekam jejakmu bi... Sahabatku... Smua jalan it tlah mengajarimu memberi kash sayang pada sesama dg lembut dan indah... Everything come with reason! Yeach my BFF? :)

bibi mengatakan...

Iya, semua pasti ada hikmahnya.. Makasih say, jadi terharu baca komen qm.. :) *big hug for my BFF*